Saya, Tentara dan Bakso

 

bakso_mi_bihun

Photo: google.com

Suka bakso? Siapa yang tidak suka makanan yang satu ini. Selain bisa ditemukan di mana saja, bakso juga menjadi panganan yang asoy saat hujan, snack menyenangkan saat lapar atau bahkan juga bisa dinikmati tanpa harus ada alasan tertentu.

Membayangkan kuah panasnya, butiran baksonya yang kenyal dan juga aromanya yang top markotop sudah membuat saya “ngiler” saat menulis tulisan ini.

Ada yang bilang yang suka bakso hanya perempuan. Buat saya menempatkan “hanya” perempuan sebagai pecinta bakso sejati tidak adil. Jelas-jelas tidak ada hubungannya antara bakso dengan isu gender.

Memang sih saya saya sering sekali terjebak di warung bakso dengan pengunjung mayoritas perempuan dan segelintir kaum lelaki, termasuk si tukang baksonya sendiri.

Apakah lelaki tidak suka bakso? Salah. Banyak juga lelaki yang suka bakso. Terbukti saya juga sering terjebak menikmati bakso bersama kaum lelaki. Dan itu kebanyakan saat saya meliput isu militer, institusi paling maskulin untuk aktivis gender.

Yup, Jangan salah. tentara Indonesia ternyata pecinta bakso sejati loh.

Beberapa kali liputan di kementerian pertahanan misalnya, saya dan rekan wartawan lainnya disuguhi bakso panas yang kuahnya mengepul wangi.

Yang makan bukan saja wartawan tetapi para tentaranya juga. Malah beberapa dari mereka menikmati bakso dengan kuah merah menyala alias “full” saos cabe hehehe.

Kalau melakukan liputan di markas TNI di Cilangkap sana, makan bakso di kantin dekat pusat penerangan (puspen) TNI menjadi ritual selanjutnya setelah doorstop Panglima TNI. Saya bisa melihat banyak juga tentara laki-laki makan bakso.

Staf puspen TNI Pak Badar sudah melakukan promosi serius pada wartawan kalau bakso di Cilangkap memang bakso yang paling enak. Kenyataannya rasa baksonya memang lumayan. Yang bikin enak mungkin karena tidak semua orang bisa masuk ke Mabes Cilangkap kalau tidak ada keperluan hehehe

Celakanya lagi karena otak kami semua sudah dicuci dengan program “bakso enak Cilangkap”, kami jadi ke kantin itu hanya untuk makan bakso saja. Padahal, banyak menu lain yang tidak kalah menariknya. Pernah saat kami menunggu bakso dihidangkan, Pak Badar malah muncul dengan sepiring nasi dan semur jengkol yang mengiurkan. Beberapa diantara kami langsung menyesal memesan bakso.

Bakso juga sering saya nikmati saat saya liputan bersama tentara ke luar daerah.

Saya ingat sewaktu ikut menteri pertahan sidak ke Lanud Pontianak, salah satu snack yang dihidangkan adalah bakso dan justru meja tempat bakso itu yang paling ramai. Semua orang bisa mengambil bakso sepuasnya alias tanpa jatah-jatahan.

Saat menteri pertahanan sedang melakukan kunjungan ke pulau terluar kawasan Natuna, kami wartawan yang sedang menunggu di Lanud Ranai juga dihidangkan bakso. Bayangkan, makan bakso di Natuna! Jauh-jauh dari Jakarta, makannya bakso juga.

Lebih serunya lagi bakso di Natuna ini enak sekali! Dagingnya banyak dan aksesorisnya lengkap dengan tetelan mengambang dan tahu. Langsung saja panci bakso itu jadi rebutan wartawan dan prajurit TNI AU yang sedang stand-by di Ranai.

Menurut cerita seorang tentara yang kebetulan menjadi teman makan bakso saya, banyak tentara yang suka bakso.

“Mbak masih ingat ketika musibah pesawat Air Asia yang jatuh ke laut? Tentara AL, terutama pasukan khusus dan penyelamnya banyak yang terlibat dalam operasi penyelamatan. Mereka bekerja keras,” cerita mas tentara itu ramah.

Saya mangut-mangut. Saya masih ingat musibah yang terjadi Desember 2014 lalu.

“Saat itu Panglima TNI (waktu itu Jenderal Moeldoko) datang menjenguk dan memberi semangat rekan-rekan kami yang sudah lama sekali menyelam mencari korban,” dia menambahkan.

Saya masih mangut-mangut.

“Seorang rekan yang kebetulan sudah terlalu lama di KRI minta bakso. Hari itu juga Pak Panglima menerbangkan ratusan porsi bakso untuk perajurit yang melakukan operasi penyelamatan,”

Saya berhenti mangut-mangut. Panglima TNI menerbangkan bakso untuk prajuritnya? Bakso? Seriously?

Nah, terbukti kan kalau tidak ada urusan gender dalam makanan yang satu itu. Yang pasti, harus diakui bakso memang makanan sejuta umat dan non-diskriminasi.

Jurnalisme Baper

Sejak dulu sampai sekarang, saya tidak pernah mau membanding-bandingkan jurnalisme di masa saya dulu (tua skalee) dengan masa sekarang. Tentu saja semuanya berbeda. Dulu wartawan tidak pernah punya sosial media dan bisa selfie saat liputan. Kami juga tidak bisa curhat di sosial media saat dimarahi editor, dimarahi narasumber, kesal dengan satu isu dan lain-lain.

Kami ini masuk jurnalis generasi era mesin ketik, generasi yang menunggu foto dicuci dan dicetak dan tentu saja tidak pernah terhubung dengan facebook.

Karena tidak mau membanding-bandingkan kondisi dulu dan sekarang itu, maka saya cenderung masa bodo terhadap kondisi perjunalistikan di Indonesia saat ini. Saya tidak mau dianggap sulit move-on dari masa lalu. Sehingga membuka ruang untuk jurnalis muda bicara “yailah, lain dulu lain sekarang. Jadul amat sihh..”

Sehingga saya cenderung untuk beradaptasi, termasuk mencoba semua media sosial dan ikut perkembangan jaman hehehe.

Padahal, jujur saya merasa wartawan sekarang terkesan lembek dan tidak setangguh jurnalis dulu. Belum lagi ada aliran “jurnalisme baper” alias jurnalisme bawa perasaan yang semakin mengakar di khasanah jurnalistik kita akibat derasnya pengaruh media sosial.

Jurnalisme baper? Yah itu istilah saya. Jurnalisme baper adalah jurnalisme yang melibatkan perasaan dan emosi si wartawan dalam meliput berita. Jadi jangan heran beritanya akan sangat tergantung bagaimana kondisi mental dan emosional si pewarta, bukan objektivitas yang mereka temukan di lapangan.

Jurnalisme baper ini jurnalisme penuh drama. Lebih parahnya lagi jurnalisme baper ini mengakomodir hal-hal sepele yang sebenarnya tidak penting, memanjakan wartawan, membuat wartawan tidak professional, dan tentu saja terkesan lembek dan anti kritik.

Tentu saja itu istilah saya yah, kalau pembaca punya istilah atau definisi lain silakan saja.

Apakah jurnalis tidak boleh baper? Siapa bilang tidak boleh. Jurnalis itu bukan setengah dewa. Mereka manusia biasa yang punya empati, perasaan dan juga ingin tahu yang tinggi. Tetapi tahap bapernya harus dikira-kira dong, jangan sampai terlalu baper dan terlalu lembek, sehingga gara-gara disinggung atau diomelin narasumber misalnya, jadi ngambek tidak karu-karuan.

Selama hampir 17 tahun saya jadi wartawan, bohong kalau saya tidak pernah merasa baper. Banyak sekali kejadian yang membuat saya ngamuk-ngamuk, marah, dan tersinggung. Tetapi semua saya telan sendiri. Tidak ada sosial media yang akan mendukung ke-baperan saya. Bahkan banyak rekan sejawat masa itu yang tidak tahu apa yang saya rasakan hehehehe..

Satu kejadian saya meliput di kawasan Laweung Pidie tahun 2001, setahun setelah saya jadi wartawan. Isunya tentang penembakan seorang guru ngaji bernama Teungku Abdullah Syafiie yang yang namanya sama dengan Pangima GAM Teungku Abdullah Syafiie saat itu. Akibat penembakan itu semua warga mengungsi karena takut.

Berangkatlah saya dengan penuh semangat dan gagah berani ke Laweng ditemani Nurnihayati alias Nonik (Nonik sekarang jadi wartawan serambi Indonesia di Sigli) dan juga Said Rizal. Nama terakhir ini adalah guide saya merangkap supir. Kami bergerak ke Laweung dengan mobil sewaan yaitu labi-labi. J

Seusai wawancara istri Teungku Abdullah Syafiie, wawancara saksi, melihat pengungsian dan meninjau TKP yang masih spooky plus masih berbau anyir darah, Said Rizal meminta saat bertemu dengan seseorang.

Saya dan Nonik digiring masuk ke sebuah kedai kopi tertutup oleh sejumlah laki-laki berwajah seram dan pintu ditutup dari luar. Saya waktu itu sudah punya firasat jelek. Said Rizal juga kelihatan cemas.

Dalam keremangan suasana kedai kopi di dalam (tidak ada lampu, cuma cahaya matahari yang masuk dari sela pintu kedai kopi), saya melihat seorang lelaki gempal pendek duduk dikelilingi laki-laki lain yang wajahnya juga tidak ramah.

Duek (duduk)..” kata si lelaki itu.

Saya dan Nonik duduk dan berpandang-pandangan.

Tanpa babibu, si lelaki gempal itu mengeluarkan pistol dan menaruh di meja depan saya dan Nonik.

Pat KTP (mana KTP),” katanya.

Kami berdua mengeluarkan KTP. Pria itu memeriksa KTP dan ketika melihat KTP saya dia menatap saya. Tatapannya curiga.

Nyoe, peu betoi lahee di Jakarta? (Ini apa benar lahir di Jakarta?)” bentaknya. Saya baru ngeh kalau yang mengurung kami di kedai kopi ini pasti anggota GAM karena mereka benci sekali pada orang dari Pulau Jawa.

Betoi Teungku (Benar Teungku),” jawab saya takjim.

Pakon jeut lahee di Jakarta (Kenapa lahir di Jakarta?)” tanyanya.

Pertanyaan Bodohhhhhhhhhh pikir saya dalam hati.

Meunyo jeut pileh, lon meuheut lahee di Amerika mantong (Kalau bisa pilih, saya mau lahir di Amerika saja),” balas saya kesal.

Si Lelaki hitam gempal itu mengembalikan KTP pada kami. Dia mengetuk-ngetukkan gagang pistol itu di meja, membuat suasana jadi gimanaaaa gitu. Saya melihat muka Nonik Pucat, sementara Said Rizal tidak bisa melakukan apa-apa, dan membuang muka saat saya menatapnya kesal.

Takut? Ya saya sangat sangat takut. Saya juga marah, kesal, sedih dan keki. Saya marah karena dicurigai dan saya sebal karena Said Rizal tidak bisa menjamin kalau saya “clean” dan bukan cuak atau sebangsanya. BRENGSEKKK.

Pria pendek yang akhirnya saya tahu kalau namanya Ibrahim itu mulai ngomel-ngomel dan menganggap semua orang yang berasal dari Jawa itu tentara alias Pa’i. Dan yang lahir di pulau Jawa pastinya kaki tangan Pa’i. Lama juga dia ngomel-ngomel.

Apakah saya baper saat dia membentak dan mengata-ngatai saya sebagai mata-mata tentara dan cuak?

Hehehe…Jelas saya tidak bisa baper karena bisa-bisa saya ditembak. Posisi saya kan tidak menguntungkan, jadi kalau mati tidak ada yang tahu. Termasuk mamak saya.

Jangan tanya deh gimana saya bisa nego dengan mereka sampai bisa lepas dari kedai kopi itu dan bisa tukeran nomer telpon plus foto. Yang pasti Said Rizal (kayaknya dia merasa berdosa) menganggap saya jurnalis gila.

Biar adil, saya juga pernah baper sama Tentara. Saat itu darurat militer tahun 2003 dan mereka melakukan blokir nomer telpon yang dicurigai sebagai GAM, termasuk nomer telepon saya. Alhasil saya tidak bisa menghubungi dan dihubungi. Ini jelas-jelas menganggu kerja jurnalisme saya yang katanya dilindungi UU Pers.

Saya mengadu ke provider nomer selular saya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Katanya nomer telpon saya 08116867XX diblokir oleh penguasa darurat militer. Eng ing eng…

Saya langsung ke penerangan PDMD, yang waktu itu dipegang oleh Kolonel Ditya Sudarsono. Saya minta penjelasan, kok bisa-bisanya nomer telpon saya masuk ke dalam daftar telepon yang dicurigai TNI. Bukannya sah-sah saja saya menelpon siapa saja? Saya kan wartawan yang harus check and re-check. Pak Ditya yang religious itu menasehati saya untuk menganti nomer baru, plus minta saya berhenti konfirmasi ke GAM.

Saya sangat marah. Tidak ada yang menolong saya. Tidak ada. Semua takut karena ini sedang darurat militer. Akhirnya saya memutuskan ganti nomer plus memulai menyusun kontak dari bawah lagi.

Baper? Ya, saya baper. Tetapi apa saya memboikot berita TNI gara-gara mereka memblokir telpon saya? Jelas tidak. Saya tetapi menghadiri konfrensi pers mereka dan paling sering ikut helikopter PDMD bila mereka akan ke luar kota.

Tapi dari semua kejadian-kejadian mengesalkan yang saya alami, ada beberapa waktu saya menangis terisak-isak karena terlalu baper. Saya tidak malu mengakuinya karena saya baper saat dimarahi nara sumber saya yang kebanyakan korban konflik dan korban tsunami.

Salah satu kejadian di tahun 2005, setelah tsunami. Saya dan beberapa wartawan mengunjungi sebuah tempat yang terimbas tsunami. Masyarakat yang selamat sudah kembali dan membuat tenda di atas puing rumah mereka. Beberapa dari mereka langsung menatap kami dengan tatapan sinis begitu rombongan kami mendekat.

“Mau apa kesini?” tanya satu dari mereka dengan bahasa Aceh.

“Kami mau wawancara pak,” jawab saya.

“Lebih baik kalian pergi dari sini. Kedatangan kalian tidak ada gunanya buat kami. Kondisi kami masih belum berubah. Yang ada kalian mendapatkan untung dari berita yang kalian buat,” kata lelaki itu serius.

Saya dan teman-teman kaget. Kami syok. Kedatangan kami tidak diinginkan oleh masyarakat yang marah. Dan mereka mengusir kami. Sampai di mobil saya tidak bisa menahan tangis saya. Saya menangis cukup lama. Saya merasa gagal karena masyarakat tidak mau percaya lagi.

Ya. Kalau yang memarahi dan membentak-bentak saya TNI, Pejabat, atau pemberontak mungkin saya tidak akan sedih, karena saya bekerja bukan untuk mereka. Tetapi masyarakat? Bukankah wartawan pelayan masyarakat yang dituntut memberikan informasi akurat, dan menjadi corong mereka?

Maaf, saya baper…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bye office…

Meskipun saya sering dilanda kejenuhan luar biasa, tapi entah kenapa hari ini saya merasa agak keberatan meninggalkan kantor. Ya, hari ini hari terakhir saya masuk kantor dan saya cukup sedih.

Selama ini saya duduk di kawasan cubicle paling pojok. Pojokan yang aman karena saya bisa bersembunyi dan tidak terlihat rekan-rekan. Tetapi gara-gara lokasi yang terpencil itu, saya sering gagal mendapatkan makanan gratisan karena lokasinya jauhhhh dari tempat duduk saya ini 🙂

Teman-teman yang menyenangkan karena mereka teman seprofesi, senasib, dan sepenanggungan. Saya sering mampir ke meja mereka sekedar say hai. Di saat senggang saya bisa ikutan ngobrol ngalor ngidul di balkon bersama rekan-rekan sambil minum teh botol dan makan gorengan.

Sejak resmi berkantor di Palmerah di tahun 2008, saya sudah enam kali berganti lokasi tempat duduk. Tetapi buat saya sama saja. Beberapa rekan ada yang pergi, beberapa dari mereka malah tak kembali. Ada yang pindah kerja. Ada yang sekolah karena mendapat beasiswa, atau ada yang memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga.

Jujur saat pertama kali masuk ke kantor ini saya merasa berada dalam neraka. Tekanan dan tuntutan pekerjaan begitu berat yang membuat saya stres dan sering menangis. Saya berpikir apa saya harus bertahan atau mundur saja? Buat apa saya habiskan waktu saya di tempat yang berat seperti ini.

Menulis dalam bahasa inggris itu jadi momok buat saya di tahun-tahun awal di Palmerah (bahkan hingga sekarang karena saya selalu merasa tulisan saya masih sulit untuk sempurna). Saya disiksa dengan kunjungan rutin ke mentor dan selalu down karena semua tulisan yang saya hasilkan salah semua.

Pernah suatu saat tulisan saya menjadi contoh tulisan terburuk yang tidak boleh ditiru :(. Harga diri saya jatuh ke tempat serendah-rendahnya. Untung mental saya cukup kuat untuk terus belajar. Saya sering tertidur dengan buku grammar saat belajar. Otak saya terlalu tua untuk menyerap semudah jurnalis muda. Jadi kalau mereka belajar 10 kali, saya harus sanggup belajar 20 kali.

Belajar ekonomi dan bisnis jadi momok yang lain. Belum pernah saya bermimpi harus menulis berita ekonomi. Pakai bahasa inggris pula. Membayangkan saja saya sudah merinding.

Saya ingat saat dihampiri Rendi, editor di business desk, saat saya masih di desk national. Dengan santainya dia bilang “Nan, minggu depan elu pindah ke desk gue yaaa…”

Saya sempat sulit tidur gara-gara itu. Saya menghabiskan waktu membaca berita business dan buntutnya saya malah tambah stress. Banyakkkkkk sekali yang harus saya pelajari.

Berita-berita business adalah berita paling datar dan membosankan menurut saya. Celakanya saya berada di desk business ini paling lama. Hampir dua tahun, dan meliput khusus di perusahaan-perusahaan BUMN. Saya sempat merasakan pergantian menteri tiga kali; Sofyan Djalil, Mustafa Abubakar dan Dahlan Iskan.

Lama-lama saya jatuh cinta juga dengan desk business. Editor favorite saya adalah Mas Dadan yang wajahnya ala Enrique Iglesias itu. Orangnya baik dan selalu santai. Dia selalu bilang “reporting business is easy. Just follow the number…”

Dari semua desk yang pernah saya lakoni, desk special report dan feature adalah desk favorite saya. Di desk special report Saya bisa menulis panjang dengan lebih dalam terhadap masalah tertentu. Nanti munculnya satu halaman penuh. Ini jurnalisme sebenarnya karena bukan Cuma melaporkan, kata Rendi yang menjadi editor saya.

Sementara di desk feature saya bisa melatih menulis dengan hal-hal ringan. Saya juga belajar menulis soal gosip selebritis yang belum pernah saya lakukan selama 13 tahun jadi wartawan.

Saya cinta dua desk itu. Sangat cinta malah.

Bukan masalah tekanan pekerjaan saja, terkadang hubungan saya dengan editor juga sering tidak cocok. Masalah bisa muncul karena news judgement kemudian merembet ke masalah pribadi. Yah, begitulah…

Ternyata semua tekanan dan masalah kini berbuah manis. Saya bisa menikmati buahnya sekarang. Saya diterima beberapa beasiswa. Pilihan saya berlabuh di University for Peace. Belajar soal konflik memang cita-cita saya.

Terlepas dari betapa menderitanya saat-saat pertama saya bekerja di kantor ini, saya merasa kerja keras saya terbayar sudah…

Tiba-tiba saya merasa sedih harus meninggalkan kantor. Saya sadar, kalau saya tidak mengalami banyak pengalaman berharga disini, mungkin saya tidak akan pernah terpecut untuk berusaha dan kemudian berhasil …

Ulang tahun JP, Raymond Toruan dan turning point saya

 jakarta post

Hari ini tanggal 25 April 2013, koran saya tercinta The Jakarta Post (JP) ulang tahun yang ke 30. Usia yang cukup dewasa. JP sudah bertahan dan melewati banyak masalah yaitu sejak masa  orde baru, reformasi dan orde gonjang ganjing ( kenapa orde gonjang ganjing? Karena sejak sembilan tahun belakangan ini kasus korupsi makin parah dan orang-orang merasa kurang lengkap kalau tidak korupsi J)

Selama berkantor di Jalan Palmerah Barat 15 sejak 2008, saya tidak pernah namanya hadir di acara ultah kantor. Saya lebih sering menghabiskan waktu liputan diluar kantor dan bahkan langsung pulang setelah liputan. Saya cuma tahu ulang tahun JP justru dari teman-teman yang pulang kantor atau pun foto-foto yang mereka upload di facebook atau twitter. Ada kue besar, nasi kuning, wine dan sampanye…

Untuk pertama kali, di ultah JP yang ke 30 ini, saya memutuskan untuk ke kantor dan menikmati suasananya. Saya berharap bisa bertemu banyak rekan dan ngobrol –tentu saja sambil bikin berita—di hari paling penting untuk JP ini.  Ini saya lakukan karena seminggu lagi saya akan cuti besar dan mungkin tidak akan pernah ke kantor ini hingga 20 bulan ke depan 😦

Sudah saya duga, kantor berlimpahan makanan dan bunga. Tart coklat, cupcakes, dan nasi kuning mengalir tidak putus-putusnya sampai kami kekenyangan, berharap ada rekan wartawan lain yang datang untuk bisa menyantap makanan yang melimpah.

Bukan itu saja, suasana makin meriah saat ada tiup lilin di ruang rapat sore disaksikan pemred kami yang charming Meidyatama Soeryodiningrat. Lilin itu dinyalakan di atas kue coklat ukuran satu meteran.

Kami menyanyikan lagu happy birthday dan diakhiri dengan potong kue. Sempat sebelumnya managing editor Rendi Witular keheranan begitu melihat jumlah kami yang hadir begitu sedikit.

“Cuma segini?” tanyanya.

Ya iyalah, sebahagian jurnalis JP masih di lapangan. Masih bekerja untuk mendapatkan berita supaya besok koran tetap terbit. Sementara  Karyawan redaksi juga terbelah karena ada yang sudah di TIM Cikini untuk pelaksanaan Ultah JP secara resmi.

The team
The team

Saat acara tiup lilin, saya mendadak merenung kenapa saya bisa akhirnya memutuskan bekerja full-time untuk JP.  Ingatan saya masih sangat segar, itu adalah tahun 2002.

Saat itu saya bekerja di sebuah koran lokal Aceh. Gaji saya teramat kecil disana sehingga saya sering “curi-curi” waktu berkontribusi ke JP. Koran saya itu memang tidak mengizinkan wartawannya kerja dengan media lain.  Saya memilih berkontribusi ke JP karena buat saya lebih mulia ketimbang menerima sogokan nara sumber…

Suatu waktu saya membutuhkan tanda tangan pemred koran lokal saya untuk memberikan izin cuti. Saya pun ke ruang pemred untuk pertama kalinya. Yang saya rasakan saat masuk ke ruang itu, kondisinya kosong melompong. Rak-rak buku terlihat kosong. Dinding tak berseri. Pemred saya duduk di depan komputer di meja yang bersih tanpa kertas-kertas atau buku. Saya pikir beliau kerja, eh nggak tahunya sedang main soliter –permainan komputer yang cukup ngetop saat itu—

Pikiran saya saat itu  lho, pemred kok malah main soliter?

Cuti itu saya pergunakan untuk mengikuti workshop AJI, yaitu pelatihan di wilayah konflik.

Ternyata pak Raymond Toruan, Pemred JP waktu itu, tahu kalau saya ada di Jakarta dan beliau mengundang saya untuk mampir ke kantor JP yang lama di Palmerah.

Ini kali pertama saya bertemu dengan Pak Raymond. Saya diantar resepsionins ke ruangannya, yang ternyata lebih kecil dari ruangan pemred saya di Aceh sana. Saya langsung melihat sosok pak Raymond duduk di meja sedang membaca ditemani lampu baca.

Ruang kerja Pak Raymond berantakan. Rak bukunya penuh, malah buku yang tidak tertampung ditumpuk di lantai. Di dinding banyak lukisan yang saya tidak tahu jenis alirannya apa. Beberapa lukisan yang masih terbungkus kertas coklat masih tergeletak di lantai. Saya pikir pak Raymond mungkin tidak tahu mau mengantung dimana lagi lukisannya itu.

Pak Raymond melihat saya sekilas dan berkata “ Duduk dulu Nani, saya selesaikan bab ini dulu baru kita ngobrol,” katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku tebal yang sedang dia baca.

Saya terkesan sekali saat itu. Dan lebih terkesan lagi saat kami ngobrol ditemani dua kotak nasi padang. Pak Raymond cerita soal Aceh dan kecintaannya pada dunia jurnalistik. Saya lebih banyak mangut-mangut.

Dia sempat menunjukkan beberapa mesin tik jadul miliknya dan koleksi kain-kain tenunan tua yang banyak sejarahnya. Saya melihat mata pak Raymond begitu berbinar-binar menceritakan asal usul koleksinya.

Buntutnya dia menasehati saya untuk menjadi wartawan yang baik. Yang selalu menjaga keselamatan karena berita bagus itu bukan didapat dari wartawan yang mati.

Saya merasakan perbedaan aura pak Raymond ini sangat kontras dengan aura pemred saya di Aceh. Pak Raymond tidak pernah memandang remeh meskipun saya cuma koresponden. Beda dengan Pemred saya yang selalu menganggap wartawan muda seperti saya ini bukan apa-apa.

Saat saya berjabat tangan dengan Pak Raymond sebelum berpisah, saya sudah memutuskan untuk memilih bekerja untuk The Jakarta Post dan keluar dari kantor lama saya. Saya yakin ini kantor yang tepat buat saya untuk membuat saya lebih berkembang.

Saya  merasa Pak Raymond adalah orang pintar dan bos pintar pasti akan membuat anak buahnya seperti saya lebih pintar…

Itulah turning point saya kenapa saya akhirnya memilih bekerja di JP. Sebagai koresponden selama 6 tahun dan wartawan tetap selama 5 tahun.

Dan saat lilin ditiup dan tepuk tangan bergemuruh di ruang rapat sore hari itu tanggal  25 April 2013, saya kembali berpikir. Apakah saya akan tetap di JP atau mungkin ada kejadian lain yang mengubah kehidupan saya ke depan? Allahualam…

Saat semuanya gelap akibat koran tak terbit

Jujur, saya sangat bangga menjadi seorang jurnalis. Buat saya pekerjaan ini mulia karena memberi informasi pada publik. Coba bayangkan apa yang akan terjadi kalau tidak ada koran, TV, atau media-media lain? Hidup akan begitu mengerikan karena kita tidak bisa mendapatkan informasi.

Saya pernah merasakan hidup tanpa koran di Aceh  antara tahun 2000- 2001. Saat itu media lokal tempat saya bekerja diancam pihak bersengketa karena ada isinya yang dianggap merugikan mereka. Mereka mengancam akan membakar semua mobil ekspedisi koran dan membunuh wartawan dan supir pengantar koran.

Akhirnya demi keselamatan semua pihak, koran itu memutuskan tidak terbit selama beberapa hari.

Para jurnalis tetap masuk kantor tapi tidak liputan dan tidak menulis. Mereka tetap menerima info tetapi disimpan dalam hati atau dishare sama keluarga, teman dan handai tolan saja.

Meskipun koran asal Medan dan Jakarta tetap beredar, tetapi kedatangan mereka selalu terlalu siang atau sore. Jadi tidak begitu berpengaruh untuk kebutuhan informasi warga lokal.

Saat itu memang belum ada yang namanya berita online. Internet juga tidak sepopular sekarang. Belum ada yang namanya, smart phone, blackberry, i-tab atau ipad. Nomer telpon seluler Cuma bisa yang dengan memakai jaringan Telkomsel yaitu Halo telkomsel. Nomer simpati atau As belum ada, kalau pun ada harganya mahal tidak terkira.

Yang pasti masyarakatlah yang paling merasakan tidak terbitnya koran lokal tersebut. Selama beberapa hari itu masyarakat Aceh hidup dalam kegelapan. Tidak dapat informasi. Kalau ada insiden, ya cukup diketahui orang-orang di sekitar tempat kejadian.

Orang-orang di Kabupaten Pidie tidak tahu apa yang terjadi di Banda Aceh, begitu juga orang di Aceh Barat tidak tahu apa yang terjadi di Aceh Utara. Pokoknya benar-benar gelap.

Yang paling menyedihkan adalah keluarga korban hilang. Mereka kebingungan mencari jasad keluarganya. Biasanya koran lokal itu selalu membantu dengan memberitahukan penemuan jenazah di beberapa tempat melalui korannya.

Informasi itu sangat dibutuhkan pihak keluarga korban. Tidak terbit koran berarti mereka tidak dapat informasi kemana harus mencari jasad keluarga.

Kalau membayangkan saat itu seram rasanya…

Tips kecil meliput di kawasan konflik

Meskipun saya lulusan fakultas komunikasi, saya sama sekali tidak punya pengalaman meliput di wilayah konflik seperti Aceh.  Mantan redaktur saya saat masih bekerja di tabloid Kontras  Serambi Indonesia Bang Muharram M Nur *  banyak memberi tips, dan saya pikir tips itu masih relevan dengan sekarang (tinggal disesuaikan saja).

Tips-tips ini jelas tidak ada di buku jurnalistik manapun karena berdasarkan pengalaman bang Muharram dan juga beberapa pengalaman saya kemudian.

Ini beberapa tips yang saya share disini

  • Usahakan bicara dengan bahasa daerah sehingga lebih gampang mendekati nara sumber seperti pengungsi dan korban konflik
Pemakanan massal korban sipil di Desa Mata Mamplam Bireun
Pemakanan massal korban sipil di Desa Mata Mamplam Bireun 2003 (Photo By Nani Afrida)
  • Selalu membawa permen kalau mengunjungi perkampungan atau pengungsian. Di wilayah konflik orang dewasa biasanya sulit mempercayai orang asing meskipun itu wartawan. Permen itu bisa dibagikan kepada anak-anak, sehingga bila kita bisa dekat dengan anak-anak maka akan mudah mendekati orang tua mereka
  • Jalin hubungan dengan narasumber tapi tetap bisa jaga jarak. Jangan bermuka dua dengan menjelek-jelekkan satu pihak demi mendapatkan simpati pihak lain.  Bila kita melakukan hal itu, pasti mereka akan curiga dan menganggap kita akan melakukan hal sama dengan musuh mereka (They are not stupid fellas)
  • Baca banyak background, background, background dan berita-berita sebelumnya sebelum turun ke wilayah konflik. Itu mutlak perlu. Wartawan harus tahu itu konflik karena agama, ras, separatism atau konflik ekonomi. Jangan turun ke wilayah konflik dengan tangan kosong.
  • Nara sumber perempuan di wilayah konflik biasanya lebih jujur dari nara sumber laki-laki karena para lelaki suka melebih-lebihkan sesuatu (nah loh)
  • Terkadang salah satu pihak bertikai meminta wartawan bisa menyeludupkan kamera untuk mendapatkan gambar dan kekuatan musuhnya. Sedapat mungkin hindari hal ini. Ingat, kita bukan bagian dari mereka. Kita ini WARTAWAN.
  • Wartawan harus bisa menyaring informasi yang diberikan nara sumber, jangan setelah berita dipublikasikan nara sumbernya dalam bahaya.
  • Jangan bertanya atau wawancara korban penangkapan seperti interogasi yang dilakukan aparat keamanan. Wartawan harus berbeda cara bertanyanya, harus lebih sopan, jangan berlebihan apalagi menakut-nakuti.
  • Mendengar dengan teliti saat nara sumber bicara. Meskipun keterangan mereka berbeda atau ngaco atau salah jangan dibantah. Kita sedang di wilayah konflik, men. Profesi kita itu mendengar bukan didengar. Kita cuma butuh konfirmasi.
  • Bila mengunjungi markas gerakan separatis, janganlah setelah itu kemudian melapor kepada aparat keamanan dimana pertemuan itu diadakan. Jadilah wartawan yang bisa dipercayai dua belah pihak.
  • Terkadang salah satu pihak –yang kebetulan suka kita—akan menceritakan rahasia rencana atau kekuatan senjata mereka. Tentu saja itu bukan untuk dikutip karena rahasia. Sangat tidak etis kalau rahasia yang mereka sampaikan kita bocorkan ke musuh mereka.
  • Jangan pernah menunjukkan rasa takut dan panik bila pihak pertikai mengancam kita. Rasa takut akan membuat mereka akan lebih mudah mengintimidasi.
  • Usahakan berpakaian sesuai dengan kondisi liputan. Bila liputan kemungkinan ke gunung atau tempat yang jauh usahakan pakai sepatu kets dan jangan pernah lupa membawa selalu baju ganti, sarung, handuk dan sikat gigi untuk saat-saat tidak terduga.
Anak-anak dengan senjata mainan mereka di kawasan Pidie
Anak-anak dengan senjata mainan mereka di kawasan Pidie 2006. Photo By Nani Afrida
  • Setiap akan pergi ke suatu tempat yang ada hubungannya dengan pihak bertikai, usahakan memberi tahu kantor atau orang yang bisa dipercaya. Jadi kalau hilang bisa dicari.

*bang Muharra M Nur adalah mantan ketua AJI Banda Aceh. Beliau hilang saat Tsunami di Aceh tahun 2004. May God bless him always…

This is Asean Spirit

Ketika saya masih sekolah di kelas enam SD di Aceh, saya belajar tentang ASEAN dari guru saya. Saya masih ingat berapa bangganya saya bisa mengucapkan kepanjangan  ASEAN dengan bahasa Inggris, terasa keren sekali.

Berdasarkan pengetahuan saya waktu itu, Asean merupakan organisasi yang anggotanya terdiri dari negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam. Para pemimpin negara mendirikan ASEAN untuk memperkuat kerjasama antara negara-negara tetangga.

Selama bekerja menjadi wartawan, saya telah bertemu banyak rekan wartawan internasional. Kami biasanya saling bertukar pengalaman dan pengetahuan meliput di daerah masing-masing.  Dan entah kenapa saya menyadari bahwa saya lebih akrab justru dengan wartawan yang berasal dari negara-negara ASEAN.

Misalnya ketika saya ikut pelatihan menulis berita ekonomi di Berlin, Jerman selama dua bulan.   Saya dan tentu saja kelompok Indonesia lainnya lebih mudah berteman dengan wartawan Vietnam dibandingkan dengan peserta lainnya.

Masalahnya kami sering berbagi kebiasaan yang sama, misalnya belum kenyang kalau belum makan nasi  🙂 . Konon ada rekan dari  Vietnam ini khusus membawa rice cooker dari Hanoi untuk bisa makan nasi dan kami dari Indonesia sering numpang masak nasi di rice cookernya.

Kita juga bisa berdiskusi dan duduk bersila di lantai dengan mudah . Hal ini sering diprotes teman-teman dari Afrika karena mereka tidak bisa melipat kaki untuk duduk di lantai.

Diskusi kami bahkan lebih nyambung karena teman-teman Vietnam tahu banyak tentang Soekarno, presiden pertama Indonesia dan bahkan beberapa dari mereka (yang gila sepak bola tentu saja) kenal dengan Bambang Pamungkas, bintang sepak bola Indonesia.

Saya belajar banyak hal tentang komunisme di Vietnam dan bagaimana orang-orang di Vietnam bertahan dari kekurangan makanan sampai akhirnya dapat mengimpor beras ke Indonesia.

Kami berbagi merek kopi yang sama yaitu Nescafe (Kopi nescafe produk Vietnam lebih keras sementara kopi nescafe indonesia lebih manis) dan juga mie instan. Mie instant dari Vietnam tak kalah variannya seperti di Indonesia, tetapi beberapa mereka mengunakan minyak babi.

Selain di Berlin, saya juga mengalami pengalaman lain ketika saya mengunjungi China beberapa bulan yang lalu. Tanpa alasan apapun dan tidak ada niat untuk melakukannya, kelompok Indonesia langsung akrab dengan wartawan dari Malaysia dan Thailand.

Hanya butuh dua hari–dari sekitar 12 hari kunjungan–untung langsung akrab. Kami sama-sama mengerutkan kening saat CPC alias Communist Party of China bercerita bagaimana sejarah mereka bangkit dari keterpurukan. Jelas saja kami mengerutkan kening karena kami sama-sama membayangkan bagaimana cara negara kami bisa semaju China.

Kami juga bisa bercanda, berdiskusi dan bahkan menggoda satu sama lain tanpa merasa terluka.

Misalnya rekan Indonesia bertanya mengapa Malaysia sangat berambisi mengklaim Rendang, hidangan nasional kita dari Sumatera Barat, dan tari Tor Tor dari Sumatera Utara. Dia menyarankan Malaysia untuk mengklaim juga Tom Yam, sup asam Thailand.

Pada waktu itu, wartawan Malaysia kami hanya tertawa dan teman Thailand mengatakan mereka tidak masalah karena Tom Yam telah menjadi hidangan internasional.

Di Cina, ribuan kilometer dari Jakarta dan Kuala Lumpur, Indonesia dan Malaysia menjadi  akrab dan saling memahami. Sungguh aneh.

Para jurnalis dari Indonesia dan Malaysia bahkan telah lupa hubungan ”aneh” Malaysia dan Indonesia yang punya banyak masalah seperti masalah tenaga kerja Indonesia, migran ilegal, klaim budaya dan sengketa teritorial.

Justru selama kunjungan itu, wartawan dari ASEAN saling membandingkan bagaimana memecahkan kasus korupsi dan masalah lalu lintas macet. Seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand memiliki kondisi yang sama; misalnya memiliki polisi yang berbody chubby dan suka sok galak, sementara polisi di China justru ramping dan tanpa senjata.

Suatu saat rekan saya dari stasiun TV di Indonesia mendadak ”hilang” saat kami mengunjungi Great Wall di Beijing. Hilangnya si kameramen membuat wartawan lain dan panitia ngamuk-ngamuk karena khawatir kehilangan waktu untuk makan siang.

Tentu saja kita tidak bisa meninggalkan rekan kami di Tembok Besar sendirian hanya karena takut kehilangan jam makan siang. Kami pergi dari Indonesia bersama-sama dan harus kembali bersama-sama.

Anehnya, teman-teman wartawan dari Malaysia dan Thailand memutuskan untuk bergabung dengan grup Indonesia. Pada waktu itu kami sangat senang dan merasa ada semangat ASEAN.

Kami memang hampir melewatkan makan siang karena si kameramen muncul setengah jam kemudian. Tapi kami merasa nyaman karena didukung oleh Thailand dan Malaysia yang membeking kami dari protes peserta lain.

Pada waktu itu, saya bisa mengerti mengapa para pemimpin kita mendirikan ASEAN. Ini bukan hanya tentang menciptakan hubungan yang kuat antara negara-negara tetangga, tapi ada alasan besar di balik itu.

Saya pikir negara-negara Asean memiliki banyak kesamaan seperti budaya dan kebiasaan. Kesamaan ini telah membuat semua negara menjadi bersatu, saling membutuhkan dan saling mendukung. Kesamaan juga membawa manfaat lain bahwa kerjasama akan berjalan lancar.

Memang, perasaan ini akan sulit muncul bila kita tinggal di negara masing-masing. Biasanya kita pasti akan ”berkelahi” dengan negara tetangga karena hal-hal yang sebenarnya bisa dicari jalan keluar secara damai.  Kita akan terus-terusan tidak akur dengan tetangga, dan itu memang normal karena jarak yang berdekatan dan adanya kesamaan yang tidak kita sadari.

Tapi coba deh kalau kebetulan kita semua berada di luar ”zona aman” itu,  pada saat itu tetanggalah yang paling mengerti kita.  And you will feel it….

60 menit bersama mantan FBI

Jadwal wawancara sudah diset pukul 7 P.M hari Rabu tanggal 10 Oktober 2012

Lokasi wawancara: Grand Hyatt Hotel –dekat bundaran HI (selalu saja saya suka lupa lokasi hotel-hotel di Jakarta. Yang paling teringat justru Hotel Borobudur simply because the food is delicious…)

Bahan untuk background wawancara sudah diberikan sehari sebelumnya oleh bos Rendi, tujuh files. Total  17 halaman (dicopi ke halaman word)

Yang akan diwawancara bernama Ali Soufan, mantan agen FBI,berkewarganegaraan Amerika, asal Libanon, pengarang buku Black Banner yang cukup kontroversial, dan yang pasti pria ini katanya anti sama kekerasan untuk interogasi teroris.

Celakanya, jadwal wawancara bapak ini bertabrakan dengan deadline reportage. Jadi konsentrasi saya pecah, antara persiapan wawancara dan mengecek printil-printil fakta di tulisan satu halaman koran itu.. 😦

Akhirnya pukul 6 lewat 15 menit kami berangkat. Kami? ya, selain saya juga ada ibu editor senior Ati Nurbaiti dan bapak editor opini Pak Imanuddin. Kami naik taksi menuju Grand Hyatt..

Jakarta yang super macet (bukan hal baru lagi) membuat kami tiba di Grand Hyatt jam 7.30 (oh nooooo)

Beruntung ibu sekertaris pak Ali ternyata orangnya baik banget. Dia bersedia menunggu.

Kami wawancara di Fountain lounge, ditemani kacang goreng, teh, dan soda lemon

#Fakta tentang Ali Soufan: COOL, SMART dan ganteng hihihi…

credit photo: bloomberg/google

Dia pakai cincin kawin di jari kirinya..

Orangnya asyik dan sepertinya dia tahu banyak soal al Qaeda..

Sepanjang wawancara kami bertanya banyak hal dari soal bukunya, kenapa dia anti sama torturing methods dan lain-lain.

sepanjang wawancara, suara biduan di lounge itu membuat saya dan para senior editor itu terpaksa harus ekstra keras untuk bisa mengerti apa saja yang dikatakan pak Ali.

Sepanjang wawancara saya melihat kok tampang mantan FBI ini beda banget sama film-film FBI yang biasa saya tonton?

Dan sepanjang wawancara saya berharap rekaman saya bisa befungsi dengan baik…

Akhirnya setelah sejam, kami pamitan.. Banyak hal yang bisa kami dapatkan, terutama fakta yang menyatakan kalau tanpa penyiksaan pun, pihak berwajib bisa mendapatkan data yang mereka inginkan…

Kutruk Memories

Jelang peringatan 5 Oktober, saya ingin menulis tentang hal-hal yang berbau militer Indonesia di blog ini. Isu soal Indonesia military emang banyak, mulai dari weapon procurement sampai dengan military warfare. Maklum dana APBN untuk Kementerian Pertahanan termasuk paling tinggi yaitu Rp 64.4 trilliun untuk tahun 2012 (boleh bilang wow sambil koprol gitu J).

Tulisan ini merupakan kenangan saya saat berkunjung ke perumahan pensiunan militer di kawasan Kutruk, kecamatan Tiga Raksa, Tangerang Selatan. Itu adalah pengalaman pertama dan yang pasti saya trauma kalau harus disuruh kesana lagi.

Saya pergi ke sana barengan dengan suami tersayang Emilio, ipar saya Heru yang biasa dipanggil Isu, dan Partanus teman Emilio dan Isu. Kami mengendarai dua motor yang tangkinya diisi penuh, tidak lupa helm dan jaket.

Kami akan mengunjungi rumah ibunda sahabat Heru yang bernama Budi. Kebetulan ayah Budi dan Emilio berasal dari satu batalyon waktu jadi prajurit TNI.  Sekarang ayah Budi dan Emilio sudah meninggal, tapi keduanya masih punya Ibu.  Bedanya Ibu Emilio (yaitu mertua saya) masih tinggal dengan anak-anaknya di Yogya, nah ibunya Budi yaitu Tante Cornen justru terasing di Kutruk sana.

Rencana ke Kutruk sebenarnya sudah hampir setahun yang lalu. Cuma belum ada yang punya nyali kesana. Selain karena sibuk, semua terintimidasi dengan statement Budi yang bilang kawasan Kutruk itu jauhhhhh banget.

Baeklah, akhirnya kami kesana. Selain akan mengunjungi Tante Cornen, Ketiga teman seperjalanan saya itu berharap bisa bereuni dengan semua anak-anak tante cornen, mengenang saat masa kecil dan tinggal di asrama yang sama…

Butuh waktu 3 jam untuk mencapai perumahan ASABRI kutruk dari Jakarta Selatan. Jalan yang dilalui berdebu, rusak, macet, panas dan unpredictable. Saya dan Emilio benar-benar kecapean. Sementara Partanus dan Isu kayaknya sangat menikmati perjalanan. Edan.

Perjalanan juga diwarnai “tersesat”, terkadang kami harus menelpon Budi –yang sudah berada di TKP—untuk tanya jalan. Sialnya keterangan Budi lebih sering membuat kami kesasar . Contohnya Budi tidak bisa membedakan mana Alfamart dan Indomaret.

Eniway, kami akhirnya sampai ke Kutruk. Dirumah kecil yang Cuma berkamar satu dan sedang kesulitan air itu, Tante Cornen menyambut kami dengan terharu. Bertanya soal kesehatan ibu Emilio yang sudah belasan tahun tak bertemu setelah suami masing-masing pensiun dari tugas.

Saya jujur saja syok melihat perumahan tempat Tante Cornen ini menghabiskan sisa hidupnya. Rumahnya kecil sekali dan lingkungannya benar-benar sulit dijangkau. Tidak ada kendaraan umum.

Kami disuguhi coca cola dingin dan kue kering lebaran. Saat siang tiba kami disuguhi nasi, sambal, sayur asem dan ayam goreng. Emilio dan kroco-kroconya makan dengan lahap. Saya rasa mereka kecapean berat setelah berjam-jam di atas motor.

This slideshow requires JavaScript.

Setelah makan, semua nongkrong di bale-bale bamboo di persimpangan jalan yang menjadi kawasan pos ronda. Merokok sambil cerita tentang masa kecil.

Matahari memang luar biasa menyengat. Begitu juga saat akhirnya kami pamit untuk  pulang.  Memang kami tidak bisa memilih karena pulang malam pasti akan nyasar 😀

Yang pasti, setibanya di rumah saya sakit kepala berat. Mungkin kepanasan.

Saya membutuhkan waktu kurang dari dua jam untuk menulis tulisan soal Tante Cornen untuk The Jakarta Post. Setelah tulisan selesai saya kemudian dikejar-kejar editor yang minta foto kawasan tersebut. Masya Allah saya memang lupa memotret.

Saya tidak berani berpikir harus kembali lagi ke tempat itu  hanya untuk memotret…:D

Setengah Hari di BNPT

Menunggu memang pekerjaan sejati wartawan. Bahkan ada seorang teman yang menyatakan kalau wartawan itu dibayar kantornya untuk menunggu. Tidak peduli menunggu hingga tengah malam, yang penting  mereka dapat konfirmasi atau isu baru.

Sebagai wartawan saya punya bermacam-macam pengalaman menunggu nara sumber atau event-event tertentu. Mulai dari cuma sekedar menunggu selesainya rapat petinggi untuk doorstop, hingga menunggu sampai dua tiga hari di sebuah tempat untuk bisa memotret pelaksanaan perayaan hari lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beberapa tahun yang lalu di Aceh.

Menunggu sudah jadi teman baik saya sebagai wartawan. 🙂

Nah, kemarin, saya menghabiskan waktu hingga tiga jam di Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) menunggu giliran mewawancarai ketua BNPT Pak Ansyad Mbai. Salah saya juga sih kepagian datangnya jadi menunggunya lebih lama lagi (saya memang selalu berusaha tidak terlambat).

Sialnya hari itu saya lupa membawa air mineral, sehingga selama tiga jam itu saya dilanda kehausan yang amat sangat. Tidak ada air (apalagi kopi) untuk tamu wartawan seperti saya. Jadi saya terpaksa menunggu dengan sabar dan dianggap angin lalu oleh pegawai BNPT yang bolak balik di depan saya.

Kantor BNPT itu lokasinya di tengah kota. Tidak ada plang nama. Gerbangnya dijaga beberapa orang berseragam safari. Hanya satu dua orang yang memakai pakaian seragam brimob dan menenteng senjata laras panjang SS-1.Saya mesti mengisi daftar tamu berikut nama, institusi, kepentingan, dan nomer telpon.  Kemudian ID card saya ditahan. Sebagai penganti saya diberikan badge bertuliskan TAMU dengan nomer 15.

Hingga sampai sekarang tidak ada yang bisa konfirmasi, mengapa kantor BNPT terletak di tengah kota? Beberapa penjaga yang saya tanyai cuma bisa cengar cengir tanpa memberi penjelasan.

Ini kali kedua saya bertandang ke kantor ini. setahun yang lalu saya juga pernah datang dan menunggu di tempat yang sama. Kali itu saya menunggu cuma 1 jam, karena saya mendapat info Pak Ansyad ada di DPR. Saya pun meninggalkan kantor itu dan langsung ke DPR.

Meskipun di tengah kota Kantor BNPT itu teduh. Ada beberapa pohon mangga tumbuh di depan kantor. Salah satunya mangga apel, yang kata penjaganya, sering sekali berbuah dan mereka sering panen. Seorang petugas kebersihan datang setiap 10 menit sekali untuk menyapu daun mangga yang jatuh di atas pavling blok.

Banyak mobil yang terparkir di halaman BNPT yang lumayan sempit. Kebanyakan adalah kijang avanza. Si penjaga mengeluh kalau lahan parkir BNPT kesempitan, sehingga kalau ada acara sering sulit untuk tamu memarkir mobilnya. Maklum BNPT adalah badan yang lumayan ngetop di Indonesia, apalagi kalau kasus teroris mulai muncul.

Selain wartawan tulis seperti saya, BNPT juga sering kedatangan wartawan lokal dan asing. Ada juga wartawan lokal yang sengaja “live” di tempat itu dengan membawa perlengkapannya. Biasanya acara live itu sering merepotkan penjaga BNPT, ya karena itu tadi, lahannya sempit. Tapi para pegawai hepi-hepi saja secara mereka bisa masuk TV.

Seorang pegawai menjelaskan kalau sebentar lagi kantor BNPT akan pindah. “Ini sementara, nanti kami akan pindah. lagipula kami ngontrak disini,” kata si pegawai yang mengunakan pakaian safari.

Giliran saya wawancara memang agak lama. Sebelum saya ada wartawan Metro TV yang sudah menunggu sejak jam 11 pagi (saat itu sudah jam 14.30 siang), setelah Metro TV ada rombongan orang asing yang juga akan bertemu BNPT, setelah itu akan ada juga dari Universitas Indonesia. Saya tidak tahu tamu dari UI itu adalah researchers atau dosen. Yang pasti mereka mungkin sudah sangat lama nunggu giliran karena mulai main pokeran dengan kartu yang tersedia disana.

Saya memandang sekeliling. mencari cara melupakan dahaga. Terlihatlah daftar koran dilanggani BNPT. Daftar itu ditempel di dinding dengan mengunakan selotip. Ternyata BNPT berlangganan Kompas, Tempo, Rakyat Merdeka, Republika, Media Indonesia, dan ahaaaa juga koran saya The Jakarta Post.

Kelamaan duduk, saya lalu ke kamar mandi yang terletak tak jauh dari ruang tunggu. Kamar mandinya heteroseksual alias bisa untuk laki-laki dan perempuan. Tidak ada tisu disana. saya langsung cuci tangan dan keluar secepatnya.

Saya kembali duduk sambil menunggu jam yang sepertinya bergerak begitu lambat. Ada suara piring dan gelas di ruangan samping saya duduk. saya berasumsi, itu pasti dapur. Munking ada yang sedang cuci piring. Mendadak saya dikejutkan dengan seekor kucing keluar dari sana dengan membawa kue di moncongnya. Saya tersenyum, kucing saja bisa leluasa bergerak mencuri makanan di dapur, semoga penjagaan di kantor ini juga ketat 🙂

Setelah mati gaya, mulai dari BBM-an, nulis daftar pertanyaan, dan lain lain akhirnya saya dipersilakan masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore. Saya pesimis Pak Ansyad masih fresh saat menerima saya. Maklum ada belasan pertanyaan yang sudah saya siapkan. Ternyata saya salah, bapak itu masih fresh dan tersenyum lebar menyambut kedatangan saya.

Akhirnya penantian saya berakhir sudah… 😀