Jurnalisme Baper

Sejak dulu sampai sekarang, saya tidak pernah mau membanding-bandingkan jurnalisme di masa saya dulu (tua skalee) dengan masa sekarang. Tentu saja semuanya berbeda. Dulu wartawan tidak pernah punya sosial media dan bisa selfie saat liputan. Kami juga tidak bisa curhat di sosial media saat dimarahi editor, dimarahi narasumber, kesal dengan satu isu dan lain-lain.

Kami ini masuk jurnalis generasi era mesin ketik, generasi yang menunggu foto dicuci dan dicetak dan tentu saja tidak pernah terhubung dengan facebook.

Karena tidak mau membanding-bandingkan kondisi dulu dan sekarang itu, maka saya cenderung masa bodo terhadap kondisi perjunalistikan di Indonesia saat ini. Saya tidak mau dianggap sulit move-on dari masa lalu. Sehingga membuka ruang untuk jurnalis muda bicara “yailah, lain dulu lain sekarang. Jadul amat sihh..”

Sehingga saya cenderung untuk beradaptasi, termasuk mencoba semua media sosial dan ikut perkembangan jaman hehehe.

Padahal, jujur saya merasa wartawan sekarang terkesan lembek dan tidak setangguh jurnalis dulu. Belum lagi ada aliran “jurnalisme baper” alias jurnalisme bawa perasaan yang semakin mengakar di khasanah jurnalistik kita akibat derasnya pengaruh media sosial.

Jurnalisme baper? Yah itu istilah saya. Jurnalisme baper adalah jurnalisme yang melibatkan perasaan dan emosi si wartawan dalam meliput berita. Jadi jangan heran beritanya akan sangat tergantung bagaimana kondisi mental dan emosional si pewarta, bukan objektivitas yang mereka temukan di lapangan.

Jurnalisme baper ini jurnalisme penuh drama. Lebih parahnya lagi jurnalisme baper ini mengakomodir hal-hal sepele yang sebenarnya tidak penting, memanjakan wartawan, membuat wartawan tidak professional, dan tentu saja terkesan lembek dan anti kritik.

Tentu saja itu istilah saya yah, kalau pembaca punya istilah atau definisi lain silakan saja.

Apakah jurnalis tidak boleh baper? Siapa bilang tidak boleh. Jurnalis itu bukan setengah dewa. Mereka manusia biasa yang punya empati, perasaan dan juga ingin tahu yang tinggi. Tetapi tahap bapernya harus dikira-kira dong, jangan sampai terlalu baper dan terlalu lembek, sehingga gara-gara disinggung atau diomelin narasumber misalnya, jadi ngambek tidak karu-karuan.

Selama hampir 17 tahun saya jadi wartawan, bohong kalau saya tidak pernah merasa baper. Banyak sekali kejadian yang membuat saya ngamuk-ngamuk, marah, dan tersinggung. Tetapi semua saya telan sendiri. Tidak ada sosial media yang akan mendukung ke-baperan saya. Bahkan banyak rekan sejawat masa itu yang tidak tahu apa yang saya rasakan hehehehe..

Satu kejadian saya meliput di kawasan Laweung Pidie tahun 2001, setahun setelah saya jadi wartawan. Isunya tentang penembakan seorang guru ngaji bernama Teungku Abdullah Syafiie yang yang namanya sama dengan Pangima GAM Teungku Abdullah Syafiie saat itu. Akibat penembakan itu semua warga mengungsi karena takut.

Berangkatlah saya dengan penuh semangat dan gagah berani ke Laweng ditemani Nurnihayati alias Nonik (Nonik sekarang jadi wartawan serambi Indonesia di Sigli) dan juga Said Rizal. Nama terakhir ini adalah guide saya merangkap supir. Kami bergerak ke Laweung dengan mobil sewaan yaitu labi-labi. J

Seusai wawancara istri Teungku Abdullah Syafiie, wawancara saksi, melihat pengungsian dan meninjau TKP yang masih spooky plus masih berbau anyir darah, Said Rizal meminta saat bertemu dengan seseorang.

Saya dan Nonik digiring masuk ke sebuah kedai kopi tertutup oleh sejumlah laki-laki berwajah seram dan pintu ditutup dari luar. Saya waktu itu sudah punya firasat jelek. Said Rizal juga kelihatan cemas.

Dalam keremangan suasana kedai kopi di dalam (tidak ada lampu, cuma cahaya matahari yang masuk dari sela pintu kedai kopi), saya melihat seorang lelaki gempal pendek duduk dikelilingi laki-laki lain yang wajahnya juga tidak ramah.

Duek (duduk)..” kata si lelaki itu.

Saya dan Nonik duduk dan berpandang-pandangan.

Tanpa babibu, si lelaki gempal itu mengeluarkan pistol dan menaruh di meja depan saya dan Nonik.

Pat KTP (mana KTP),” katanya.

Kami berdua mengeluarkan KTP. Pria itu memeriksa KTP dan ketika melihat KTP saya dia menatap saya. Tatapannya curiga.

Nyoe, peu betoi lahee di Jakarta? (Ini apa benar lahir di Jakarta?)” bentaknya. Saya baru ngeh kalau yang mengurung kami di kedai kopi ini pasti anggota GAM karena mereka benci sekali pada orang dari Pulau Jawa.

Betoi Teungku (Benar Teungku),” jawab saya takjim.

Pakon jeut lahee di Jakarta (Kenapa lahir di Jakarta?)” tanyanya.

Pertanyaan Bodohhhhhhhhhh pikir saya dalam hati.

Meunyo jeut pileh, lon meuheut lahee di Amerika mantong (Kalau bisa pilih, saya mau lahir di Amerika saja),” balas saya kesal.

Si Lelaki hitam gempal itu mengembalikan KTP pada kami. Dia mengetuk-ngetukkan gagang pistol itu di meja, membuat suasana jadi gimanaaaa gitu. Saya melihat muka Nonik Pucat, sementara Said Rizal tidak bisa melakukan apa-apa, dan membuang muka saat saya menatapnya kesal.

Takut? Ya saya sangat sangat takut. Saya juga marah, kesal, sedih dan keki. Saya marah karena dicurigai dan saya sebal karena Said Rizal tidak bisa menjamin kalau saya “clean” dan bukan cuak atau sebangsanya. BRENGSEKKK.

Pria pendek yang akhirnya saya tahu kalau namanya Ibrahim itu mulai ngomel-ngomel dan menganggap semua orang yang berasal dari Jawa itu tentara alias Pa’i. Dan yang lahir di pulau Jawa pastinya kaki tangan Pa’i. Lama juga dia ngomel-ngomel.

Apakah saya baper saat dia membentak dan mengata-ngatai saya sebagai mata-mata tentara dan cuak?

Hehehe…Jelas saya tidak bisa baper karena bisa-bisa saya ditembak. Posisi saya kan tidak menguntungkan, jadi kalau mati tidak ada yang tahu. Termasuk mamak saya.

Jangan tanya deh gimana saya bisa nego dengan mereka sampai bisa lepas dari kedai kopi itu dan bisa tukeran nomer telpon plus foto. Yang pasti Said Rizal (kayaknya dia merasa berdosa) menganggap saya jurnalis gila.

Biar adil, saya juga pernah baper sama Tentara. Saat itu darurat militer tahun 2003 dan mereka melakukan blokir nomer telpon yang dicurigai sebagai GAM, termasuk nomer telepon saya. Alhasil saya tidak bisa menghubungi dan dihubungi. Ini jelas-jelas menganggu kerja jurnalisme saya yang katanya dilindungi UU Pers.

Saya mengadu ke provider nomer selular saya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Katanya nomer telpon saya 08116867XX diblokir oleh penguasa darurat militer. Eng ing eng…

Saya langsung ke penerangan PDMD, yang waktu itu dipegang oleh Kolonel Ditya Sudarsono. Saya minta penjelasan, kok bisa-bisanya nomer telpon saya masuk ke dalam daftar telepon yang dicurigai TNI. Bukannya sah-sah saja saya menelpon siapa saja? Saya kan wartawan yang harus check and re-check. Pak Ditya yang religious itu menasehati saya untuk menganti nomer baru, plus minta saya berhenti konfirmasi ke GAM.

Saya sangat marah. Tidak ada yang menolong saya. Tidak ada. Semua takut karena ini sedang darurat militer. Akhirnya saya memutuskan ganti nomer plus memulai menyusun kontak dari bawah lagi.

Baper? Ya, saya baper. Tetapi apa saya memboikot berita TNI gara-gara mereka memblokir telpon saya? Jelas tidak. Saya tetapi menghadiri konfrensi pers mereka dan paling sering ikut helikopter PDMD bila mereka akan ke luar kota.

Tapi dari semua kejadian-kejadian mengesalkan yang saya alami, ada beberapa waktu saya menangis terisak-isak karena terlalu baper. Saya tidak malu mengakuinya karena saya baper saat dimarahi nara sumber saya yang kebanyakan korban konflik dan korban tsunami.

Salah satu kejadian di tahun 2005, setelah tsunami. Saya dan beberapa wartawan mengunjungi sebuah tempat yang terimbas tsunami. Masyarakat yang selamat sudah kembali dan membuat tenda di atas puing rumah mereka. Beberapa dari mereka langsung menatap kami dengan tatapan sinis begitu rombongan kami mendekat.

“Mau apa kesini?” tanya satu dari mereka dengan bahasa Aceh.

“Kami mau wawancara pak,” jawab saya.

“Lebih baik kalian pergi dari sini. Kedatangan kalian tidak ada gunanya buat kami. Kondisi kami masih belum berubah. Yang ada kalian mendapatkan untung dari berita yang kalian buat,” kata lelaki itu serius.

Saya dan teman-teman kaget. Kami syok. Kedatangan kami tidak diinginkan oleh masyarakat yang marah. Dan mereka mengusir kami. Sampai di mobil saya tidak bisa menahan tangis saya. Saya menangis cukup lama. Saya merasa gagal karena masyarakat tidak mau percaya lagi.

Ya. Kalau yang memarahi dan membentak-bentak saya TNI, Pejabat, atau pemberontak mungkin saya tidak akan sedih, karena saya bekerja bukan untuk mereka. Tetapi masyarakat? Bukankah wartawan pelayan masyarakat yang dituntut memberikan informasi akurat, dan menjadi corong mereka?

Maaf, saya baper…