Saya, Tentara dan Bakso

 

bakso_mi_bihun

Photo: google.com

Suka bakso? Siapa yang tidak suka makanan yang satu ini. Selain bisa ditemukan di mana saja, bakso juga menjadi panganan yang asoy saat hujan, snack menyenangkan saat lapar atau bahkan juga bisa dinikmati tanpa harus ada alasan tertentu.

Membayangkan kuah panasnya, butiran baksonya yang kenyal dan juga aromanya yang top markotop sudah membuat saya “ngiler” saat menulis tulisan ini.

Ada yang bilang yang suka bakso hanya perempuan. Buat saya menempatkan “hanya” perempuan sebagai pecinta bakso sejati tidak adil. Jelas-jelas tidak ada hubungannya antara bakso dengan isu gender.

Memang sih saya saya sering sekali terjebak di warung bakso dengan pengunjung mayoritas perempuan dan segelintir kaum lelaki, termasuk si tukang baksonya sendiri.

Apakah lelaki tidak suka bakso? Salah. Banyak juga lelaki yang suka bakso. Terbukti saya juga sering terjebak menikmati bakso bersama kaum lelaki. Dan itu kebanyakan saat saya meliput isu militer, institusi paling maskulin untuk aktivis gender.

Yup, Jangan salah. tentara Indonesia ternyata pecinta bakso sejati loh.

Beberapa kali liputan di kementerian pertahanan misalnya, saya dan rekan wartawan lainnya disuguhi bakso panas yang kuahnya mengepul wangi.

Yang makan bukan saja wartawan tetapi para tentaranya juga. Malah beberapa dari mereka menikmati bakso dengan kuah merah menyala alias “full” saos cabe hehehe.

Kalau melakukan liputan di markas TNI di Cilangkap sana, makan bakso di kantin dekat pusat penerangan (puspen) TNI menjadi ritual selanjutnya setelah doorstop Panglima TNI. Saya bisa melihat banyak juga tentara laki-laki makan bakso.

Staf puspen TNI Pak Badar sudah melakukan promosi serius pada wartawan kalau bakso di Cilangkap memang bakso yang paling enak. Kenyataannya rasa baksonya memang lumayan. Yang bikin enak mungkin karena tidak semua orang bisa masuk ke Mabes Cilangkap kalau tidak ada keperluan hehehe

Celakanya lagi karena otak kami semua sudah dicuci dengan program “bakso enak Cilangkap”, kami jadi ke kantin itu hanya untuk makan bakso saja. Padahal, banyak menu lain yang tidak kalah menariknya. Pernah saat kami menunggu bakso dihidangkan, Pak Badar malah muncul dengan sepiring nasi dan semur jengkol yang mengiurkan. Beberapa diantara kami langsung menyesal memesan bakso.

Bakso juga sering saya nikmati saat saya liputan bersama tentara ke luar daerah.

Saya ingat sewaktu ikut menteri pertahan sidak ke Lanud Pontianak, salah satu snack yang dihidangkan adalah bakso dan justru meja tempat bakso itu yang paling ramai. Semua orang bisa mengambil bakso sepuasnya alias tanpa jatah-jatahan.

Saat menteri pertahanan sedang melakukan kunjungan ke pulau terluar kawasan Natuna, kami wartawan yang sedang menunggu di Lanud Ranai juga dihidangkan bakso. Bayangkan, makan bakso di Natuna! Jauh-jauh dari Jakarta, makannya bakso juga.

Lebih serunya lagi bakso di Natuna ini enak sekali! Dagingnya banyak dan aksesorisnya lengkap dengan tetelan mengambang dan tahu. Langsung saja panci bakso itu jadi rebutan wartawan dan prajurit TNI AU yang sedang stand-by di Ranai.

Menurut cerita seorang tentara yang kebetulan menjadi teman makan bakso saya, banyak tentara yang suka bakso.

“Mbak masih ingat ketika musibah pesawat Air Asia yang jatuh ke laut? Tentara AL, terutama pasukan khusus dan penyelamnya banyak yang terlibat dalam operasi penyelamatan. Mereka bekerja keras,” cerita mas tentara itu ramah.

Saya mangut-mangut. Saya masih ingat musibah yang terjadi Desember 2014 lalu.

“Saat itu Panglima TNI (waktu itu Jenderal Moeldoko) datang menjenguk dan memberi semangat rekan-rekan kami yang sudah lama sekali menyelam mencari korban,” dia menambahkan.

Saya masih mangut-mangut.

“Seorang rekan yang kebetulan sudah terlalu lama di KRI minta bakso. Hari itu juga Pak Panglima menerbangkan ratusan porsi bakso untuk perajurit yang melakukan operasi penyelamatan,”

Saya berhenti mangut-mangut. Panglima TNI menerbangkan bakso untuk prajuritnya? Bakso? Seriously?

Nah, terbukti kan kalau tidak ada urusan gender dalam makanan yang satu itu. Yang pasti, harus diakui bakso memang makanan sejuta umat dan non-diskriminasi.

Hati-hati Masa Paket Data di HP Anda

Ini pengalaman pribadi saya dan jujur saja cukup menyebalkan. Bayangkan sedang asyik-asyiknya surfing internet, eh paket data habis kemudian menyerap pulsa untuk internet. Lagi-lagi selalu tanpa adanya peringatan dari provider ponsel saya.

Ternyata eh ternyata saya sudah melampau batas pemakaian kuota dalam periode tertentu yang diizinkan operator atau dalam bahasa kerennya adalah Fair Usage Policy (FUP).  FUP ini bisa berlaku per hari, per minggu atau per bulan tergantung pilihan para konsumennya.

Mau tidak mau saya harus mengakui kalau saya termasuk “kuper” alias kurang pengetahuan tentang pembelian data internet untuk ponsel. Saya memang termasuk pelanggan yang “lugu” dan selalu berpikiran positif pada provider ponsel saya (Apa coba..)

Sekilas tentang fair usage policy?

Seperti yang sudah diketahui, paket internet yang ditawarkan operator macam ragamnya dan berbeda-beda. Ada yang menawarkan berbasis kuota atau yang berbasis kecepatan.

Bila FUP ini sudah tercapai maka ada dua kemungkinan yang terjadi pada konsumen paket data seperti saya yaitu

  1. Koneksi internet diputus dan kemudian provider seluler akan memotong pulsa untuk melanjutkan sambungan internet, atau
  2. memperlambat kecepatan sedramatis mungkin sehingga sangat sulit bagi konsumen untuk surfing di dunia maya.

Yang jadi masalah operator seluler sering tidak jelas memberikan informasi tentang FUP ini kepada konsumennya. Mereka justru berpromosi kalau kuota paket data mereka adalah unlimited. Tak heran banyak konsumen yang terkecoh karena tiba-tiba saja pulsa di smartphone tandas. Daaannn.. saya yang termasuk konsumen jenis itu hihihihi

Pengecekan FUP di setiap operator selular jelas berbeda. (Yaiyalah, mereka kan kompetitor…)

Akhirnya setelah cari sana sini, lirik sana sini, seaching sana sini… Tadaaaa….  berikut cara mengecek FUP melalui SMS atau dial untuk lima provider seluler terkemuka di Indonesia:

  1. XL:   ketik: KUOTA  dan  Kirim ke: 868
  2. Indosat : ketik: USAGE kirim ke 363
  3. Simpati : dial *363#
  4. Smartfriend : ketik: CEK dan  kirim ke 995
  5. 3        : ketik info (spasi) data kirim ke 234

 Semoga kejadian konyol pada saya tidak terulang pada rekan-rekan yang membaca ini yaaa… 🙂

UPEACE, Mahasiswa dan Kehidupannya…

Wahhh…. Setelah punya waktu luang, baru deh saya mampu untuk aktif di blog ini lagi. Padahal sudah lumayan lama juga absen.. eniwey, bagi saya tetap belum terlambat memperkenalkan kampus United Nations Mandated University for Peace atau UPEACE, yang sudah menjelang lima bulan ini memberikan ilmu ke saya.

Image

Photo: Penampakan universitas dari gerbang

 

Meskipun tidak terkenal sebagaimana kampus-kampus di belahan bumi lainnya, (Juga tidak terkenal di Indonesia karena baru 20 orang Indonesia yang lulusan UPEACE) saya merasa kampus ini cocok buat mereka yang ingin tahu soal konflik dan peace studies, juga tata kerja organisasi setingkat United Nations ato PBB dalam mengurus konflik di belahan dunia

Image

Photo: Tiga mahasiswa indonesia tahun 2013-2014 ki-ka Puri (International Law and Human Rights), Nani (International Peace Studies) dan June (Government security and environment)

 

Setelah tiba di kampus ini Agustus 14 2013 yang lalu, saya menemukan beberapa fakta menarik soal mahasiswa, kehidupan kampus, dosen dan juga bagaimana kita harus bertahan hidup di Costa Rica.

Siapa tahu tulisan ini berguna buat mereka yang kebetulan akan menempuh pendidikan di sini.

  • Tahun 2013 ini jumlah mahasiswa UPEACE sekitar 120 an dan berasal dari 40 negara dengan berbagai macam backgrounds. Semua akan belajar selama Agustus 2013- May 2014, dan wisuda dilakukan di dua Negara: Philipina dan Costa Rica. —NOTE: sebanyak 30 mahasiswa UPEACE adalah pemegang beasiswa Asia Leadership Program (ALP) dari Nippon Foundation dan mereka kuliah di dua kampus; UPEACE dan Ateneo University
  • Dosen kampus ini selain dosen tetap UPEACE juga visiting professor dari beberapa belahan dunia yang sudah sangat ekspert di bidangnya. Misalnya salah satu dosen saya untuk mata kuliah Media and Communication in conflict prevention adalah professor Alvaro Sierra, asal kolombia yang sudah 25 tahun malang melintang sebagai wartawan di Colombia, Cina, Rusia, dan beberapa Negara Asia dan menguasai lebih dari 3 bahasa. Ada juga ahli gender Prof Nadine yang juga bekerja di UNDPKO atau Departemen peace keeping operationnya PBB.

Image

Photo: Department peace and conflict studies…

 

  • Bahasa pengantar di kampus adalah bahasa inggris, tapi bahasa di Costa Rica adalah Bahasa Spanyol. Jadi lebih baik diusahakan mengerti sedikit2 bahasa ini daripada kebingungan hehehe…minimal ucapan dasar seperti selamat pagi, halo, apa kabar, ini berapa, terima kasih, maaf dll… Sampai sekarang saya tidak habis pikir kok masyarakat sama sekali tidak bisa bahasa Inggris.
  • Meskipun kuliah di UPEACE lumayan santai karena hanya pada pagi hari jam 9 a.m sampai jam 12. p.m  tapi jangan senang dulu. Para professor biasanya memberikan bahan bacaan yang luar biasa banyaknya hingga sampai 150 halaman untuk kuliah keesokan harinya. Tugas membaca bukan tugas satu-satunya karena biasanya ada tugas tambahan seperti beberapa buah paper, tugas presentasi kelompok, bahkan kadang-kadang quiz. Tergantung mood sang dosen.
  • Bicara soal tugas kelompok, mungkin ini tren di UPEACE. Sejak pertama di wawancara masuk ke kampus, saya sudah ditanya apa bisa bekerja dalam tim. Jadi buat yang biasa bekerja sebagai single fighter yah boleh siap-siap menyesuaikan diri karena kerja tim itu tidaklah mudah. Semua harus bisa membawa diri dan tidak boleh egois. Hihihi… ini tantangan luar biasa menurut saya karena kita bekerja sama dengan oprang-orang yang berasal dari Negara lain yang beda sikap, tingkah laku dan sifanya.
  • Pada masa saya jumlah mahasiswa perempuannya lebih banyak ketimbang laki-laki. Tiga mahasiswa perempuan dibanding 1 mahasiswa laki-laki. Mereka kebanyakan tinggal di dua kawasan yaitu  El-Rodeo yaitu dekat dengan kampus UPEACE atau Ciudad Colon yaitu kota yang jaraknya sekitar 15 kilo dari kampus UPEACE  Untuk yang tinggal di Ciudad Colon biasanya disediakan bus dengan 4 jadwal berbeda. Bis terakhir biasanya meninggalkan kampus pukul 4.30 sore.

Image

Photo: Kawasan pebukitan di El Rodeo, kalau malam dari situ kita bisa menyaksikan cantiknya kota San Jose, ibukota Costa Rica

 

  • Ini informasi lumayan penting. Semua barang di Costa Rica itu MAHAL. Jadi siap-siap kaget. Harga secangkir kopi yang rasanya biasa-biasa saja itu 1700 colones atau sebangsa Rp 35 ribu. Mahasiswa disini (kebanyakan dari Asia) mengeluh soal harga yang luar biasa mahal, mungkin karena mata uangnya juga yaa J. Masak sendiri jadi alternative kalau mau menghemat. Kebetulan disini banyak sayuran dan kacang-kacangan, jadi buat yang vegetarian tidak perlu khawatir
  •  Mahasiswa UPEACE paling suka acara kumpul-kumpul. Ada aja alasan untuk bisa kumpul, mulai dari acara ultah, acara habis satu mata kuliah, acara perpisahan dengan dosen, acara hari inilah, acara hari itulah. Saya pernah mendapatkan 5 undangan acara kumpul-kumpul dalam satu hari! Belakangan saya tahu kenapa mereka hobinya ngumpul, rupanya mereka membawa makanan masing-masing dan tukeran makanan di pesta, jadi acara tidak membebani pihak penyelenggara… hihihi…

Image

 

Nah, itu beberapa informasi soal kehidupan di UPEACE siapa tahu berguna… sampai ketemu… 😀

Napak Tilas ke Universitas Jabal Gafur. Sigli Pidie

Ke Glee Gapui untuk nostalgia bareng suami Emilio. Bisa makan duren hutan, nongkrong di warung kopi mahasiswa, melihat kondisi kampus paska konflik ditemani dua dosen kampus Oktina Hafanti dan Rahmi Agustina.

Setelah perdamaian, ternyata belum banyak yang berubah. Di kampus yang lokasinya terpencil dan dipebukitan itu, saya menemukan masih banyak bagian gedung-gedung kampus yang dibakar saat konflik Aceh 1989-2005.Maklum lokasi kampus berada di “kawasan hitam” alias basis GAM.

Untuk mencapai ke kampus itu, saya dan emilio menghabiskan waktu 1 jam dengan motor, lewat jalan perkampungan yang penuh dengan kotoran lembu tapi berpemandangan super indah dengan hamparan sawah dan gunung seulawah. Kami sempat kesasar dua kali. Berangkat dari Desa Paloh, eh pulangnya nembus ke kawasan Beureunun… 😦

Yang membuat saya terharu, mahasiswanya tetap banyak dan bersemangat. Mereka tetap kuliah baik dengan mengandalkan motor maupun bis kampus. Menurut Tina dan Rahmi, banyak dari mahasiswa di kampus itu berasal dari keluarga golongan bawah di Pidie, tapi tetap punya keinginan belajar.

Kampus Jabal Gafur, tempat menuntut ilmu generasi masa depan Pidie untuk masa depan yang lebih baik…

Berikut beberapa foto, enjoy…..

Image

Gedung Rektor, Universitas Jabal Gafur Pidie

 

Image

Gedung Fakultas Ekonomi Universitas Jabal Gafur, jejeran motor di depan gedung tanda ada perkuliahan

 

Image

Gedung Utama berbentuk bulan sabit yang terbakardi masa konflik dan belum tersentuh perdamaian

 

Image

Sisa bangunan asrama mahasiswa Jabal Gafur yang masih menunggu renovasi setelah dibakar saat konflik

 

All photos by Nani Afrida

 

Si Nani Urus Dokumen (BAGIAN II) Mengurus Legalisasi Ijazah di Kemenkumham,kemenlu, Kedubes Philipina

Salah satu syarat lainnya adalah  saya harus melegalisasi ijazah,  transkrip nilai, akte kelahiran, SKCK, dan surat nikah ke kedutaan Philipina.

Tapi tunggu sebentar. Persoalannya tidak segampang itu. Masih butuh proses yang lumayan panjang.

Sebelum dibawa ke Kedutaan, dokumen itu harus dilegalisasi oleh kementerian luar negeri. Dan Kementerian luar negeri baru akan bersedia melegalisasi kalau kementrian hukum dan HAM sudah melakukan legalisasi terlebih dahulu.

Ribet? Sudah pasti. Kalau pengurusan ini disela-sela pekerjaan jelas membuat saya kecapean luar biasa.

Saya sempat bingung  dan berpikir untuk memakai calo saja. Asumsi saya biar cepat selesai dan saya tidak perlu membagi waktu dengan pekerjaan. Tetapi harga yang dipatok calo terlalu gila-gilaan. Bayangkan Rp 250,000 per lembar… Itu juga tanpa legalisasi Notaris…Notaris? iya, dalam proses legalisasi notaries juga plays important role…hahahaha

Nah, saya akan menjelaskan dengan detil metode legalisasi Ijazah dan transkrip nilai di Kemenkumham. Ini untuk membantu pembaca yang kebetulan harus mengurus sendiri semua dokumen dan tidak rela membayar mahal untuk calo (hehehehe)

  1. Siapkan foto kopi ijazah dan transkrip nilai berikut juga terjemahannnya. Semuanya harus sudah dilegalisir sama kampus.
  2. Bila kamu lulusan dari Universitas negeri, biasanya tidak perlu membawa specimen tandatangan dari kampusmu.  Tetapi pastikan specimen tandatangan yang ada di legalisir fotokopi dokumenmu itu sudah terdata di kemenkumham. Buat jaga-jaga, bagus juga membawa spesimen tandatangan dari kampus terutama kalau rektor-nya baru saja diganti. Banyak kejadian kita harus kembali lagi ke kampus gara-gara pihak kemenkumham tidak updet untuk hal tersebut.
  3. Buat yang lulusan universitas swasta, kemenkumham biasanya tidak memiliki semua spesimen tandatangan universitas swasta di Indonesia. Kalau ingin cepat biasanya memakai jasa notaris untuk memberikan cap ”sudah diperiksa sesuai dengan aslinya”. Biasanya untuk itu kita harus membawa ijazah dan transkrip nilai asli untuk dicocokkan si Notaris. Harga legaliasi notaris ini biasanya antara Rp 25,000- Rp 75,000 tergantung notarisnya. (NOTE: Kebetulan saya mendapatkan bantuan seorang Notaris dari Depok yang baik sekali. Dia hanya mematok Rp 25,000 setiap lembarnya)
  4. Bawa dokumen yang sudah disebutkan tadi ke Kementrian hukum dan HAM yang lokasinya di depan pasar festifal itu alias di kawasan Kuningan. Proses legalisasi itu dilakukan di gedung Administrasi Hukum Umum (AHU)  Selain dokumen yang mau dilegalisir bawa juga materai 6000 sejumlah dokumen yang akan dilegalisir,  map warna apa saja, uang kontan (Rp 25,000/dokumen), Fotokopi dokumen yang akan dilegalisir (ini pertinggal buat kemenkumham)
  5. Sebelum ke gedung AHU, lebih baik ke kantin untuk membeli lembaran permohonan legalisasi. Lembaran permohonan itu ada di bagian foto kopinya ( Hingga saat ini saya tidak tahu kok bisa lembaran permohonan legalisasi itu harus diambil ditempat itu dan dijual pula)
  6. Begitu masuk ke gedung AHU, ambil nomer antrian (posisinya pas dekat pintu masuk dan dijaga satpam)
  7. Kalau ternyata dokumen anda dianggap memenuhi syarat dan lengkap, akan diberikan slip untuk membayar di bank BNI. Ambil nomer antrian lagi untuk mengantri ke bank.
  8. Anda akan kembali ke meja tempat mbak-mbak legalisir tadi untuk menyerahkan bukti pembayaran. Anda akan diberikan lembaran pertinggal untuk mengambil dokumen Anda seminggu kemudian. (NOTE:      Hingga saat ini saya tidak habis pikir kok bisa Cuma melakukan cap saja sampai butuh waktu lama. Sementara calo yang ingin membantu saya mengatakan kalau dia sanggup mengurus berkas saya hiingga ke Kementerian Luar Negeri hanya dalam hitungan 3 hari SAJA. hehehehe)
  9. Ketika Anda akan mengambil dokumen. Bawa pertinggal tadi. Tentu saja Anda tetap harus mengambil nomer antrian  (NOTE: Saya sempat melihat dengan mata kepala sendiri banyak orang—kemungkinan besar calo—bisa melakukan semua proses tadi tanpa harus ngantri hehehe…)

Demikian deh proses  legalisasi Di kemenkumham.

PROSES LEGALISASI DI KEMENTERIAN LUAR NEGERI

Nah ini prosesnya sudah lumayan tidak ribet. Makan waktu Cuma dua hari dan tidak seramai kemenkumham.  Lokasi kementerian Luar negeri ini di kawasan Pejambon.

1. Bawa dokumen yang akan dilegalisir berikut materai sejumlah dokumen yang akan dilegalisir (materai lagi materai lagi), uang (Rp 10,000 per dokumen), map (warna kuning lebih dianjurkan)

2. Kunjungi loket 4. Di depannya ada formulir permohonan legalisir yang harus diisi

3. Si penjaga loket akan memberi tanda terima dan meminta Anda kembali keesokan harinya

(NOTE: saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ada orang –kemungkinan calo—yang bisa langsung mengambil dokumen saat itu juga. Hehehe.. )

Demikian deh proses di kemenlu

PROSES LEGALISASI DI KEDUTAAN PHILIPINA

Lokasi kedutaan ini di Jalan Imam Bonjol 25 Jakarta .  Tempatnya tidak segegap gempita kedutaan besar lainnya meskipun juga berpagar tinggi dan dijaga satpam.  Pas masuk kita akan disapa satpam yang ramah (jauh dari kesan seram) dan ketika didalam juga kita akan dilayani sama petugas asal philipina yang wajahnya jelas mirip-mirip sama kita juga 🙂

Yang kudu dibawa untuk meng-otentifikasian dokumen yang sudah dari notaris, kemenkumham dan kemenlu ini adalah dokumennya dan uang cash.  Satu dokumen akan dihargai Rp 250,000.  Sebelumnya petugas loket akan memeriksa apa dokumen kita sudah dilegalisasi oleh kemenkumham dan kemenlu, setelah itu baru deh mereka mau terima dokumen kita.

Biasanya mereka juga minta copian dokumen yang akan diotentifikasikan sebagai pertinggal. Kalau dirimu tak sempat atau lupa foto copy dokumen tadi, tak usah khawatir. Ada jasa pengopian di kedutaan yaitu Rp 1000 per lembar (kalau keluar cari foto copian pasti susah, kawasan itu jauh dari tempat jual Alat tulis kantor 🙂 )

Proses pengerjaannya dua hari.  Saat kita mengambil dokumen kita itu sudah diberikan pita merah dan juga sertifikat bahwa dokumen kita sudah di-otentifikasikan dan siap digunakan di negara mereka 🙂

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian VI-TAMAT)

Saya bangun menjelang subuh. Beberapa prajurit GAM saya lihat shalat dengan khusuk.

Hari itu aktifitas kami hanyalah menunggu kedatangan Fery yang dijadwalkan akan tiba siang hari. Tidak banyak yang kami lakukan. Imam sibuk membaca  buku harian Fery yang dipinjamkan Ishak, sementara saya sibuk mengambil foto dan bercakap-cakap dengan prajurit GAM lainnya.

Masyarakat terlihat bolak balik di tempat itu. Terkadang mereka bercakap-cakap dengan anggota GAM dengan akrabnya. Perempuan-perempuan juga kelihatan sibuk menyiapkan makan siang.

Menjelang siang suasana panasnya luar biasa. Saya mulai bosan dan akhirnya menghampiri Ishak Daud yang baru saja menerima telpon dari wartawan lewat telepon satelitnya.

”Teungku, lon meuheut mita ie leupie. Jeut lon jak siat mita kios (Saya ingin minuman yang dingin, bisa saya pergi sebentar cari kedai?)” tanya saya.

Ishak langsung mengeleng.

”Hanjeut. Mandum wartawan harus na disinoe.Lon yang tanggung jaweb. Peu meuheut jeb ( Nggak boleh. Semua wartawan harus ada disini. Saya yang tanggung jawab. Kamu mau minum apa)?” tanyanya.

Secara refleks saya melihat pohon kelapa yang terlihat berjejer di dekat meunasah.

”Ie U jeut chit (air kelapa boleh deh),” kata saya.

Hanya 30 menit kemudian satu baskom air kelapa muda sudah ada di depan saya. Bukan hanya kelapa muda, tetapi lengkap dengan es dan sirup merah yang dari baunya saya tahu itu pasti sirup cap patung, kegemaran orang Aceh.

Es dan sirup. Bayangkan di tempat seperti ini yang tidak ada listrik, ada es. Dan sirup itu. Luar biasa. Padahal saya cuma mau minum kelapa muda biasa untuk tidak merepotkan. Tapi ini, kelapa muda dengan sirup dan es. Sangat luar biasa.

Saya melihat tim ICRC sudah datang. Mereka disambut Ishak dengan ramah. Fery akan datang sebentar lagi.

Setelah makan siang, yang ditunggu datang. Fery muncul dengan serombongan pasukan. Dia langsung memeluk Imam yang terlihat terharu.

Semula Ishak tidak mengizinkan Fery untuk keluar dengan ICRC. Tetapi setelah ICRC berjanji untuk membawa Fery kembali besoknya, Ishak akhirnya setuju. Dia juga minta kami untuk menginap semalam lagi sebagai jaminan. Nah loh

Akhirnya kami terpaksa bertahan disana. Melepas kepergian Fery dengan mobil hingga hilang dari pandangan. Hanya sedikit yang tahu bahwa saya sempat menitipkan satu memory card kamera saya untuk wartawan yang berada di Langsa. Firasat saya minimal ada foto yang bisa selamat dari sini seandainya terjadi apa-apa pada saya.

Sore datang, kali ini kembali kami bersama anggota GAM lain menuju sumur untuk bersih-bersih.

Pulangnya saya duduk disamping salah seorang prajurit GAM (saya lupa namanya) yang sedang membersihkan AK-47-nya. Dengan bangga dia memperagakan bagaimana membuka bagian-bagian dari senjatanya dan membersihkannya dengan minyak mesin jahit bermerek singer.

”Cara pegangnya begini Kak, nah karena  setiap mengeluarkan peluru sentakannya kuat, maka gagang AK ini ditaruh di pangkal lengan begini…” katanya memperagakan. Saya mangut-mangut.

”Kita bisa setel jumlah peluru yang keluar. Bisa satu-satu, bisa juga dua dua namanya semi otomatis. Nah kalau yang otomatis bisa keluar banyak sekalian, tapi kan rugi kak. Kata Abusyik kita harus hemat,” katanya sambil memberitahu saya bagaimana cara menyetel otomatis dan semi otomatis di senjatanya.

Berikutmya dia mengajari saya memasukkan peluru AK ke dalam magazen. Menurutnya setiap anggota GAM punya magazen cadangan. Si prajurit sangat bangga memakai AK-47. Alasannya senjatanya itu badung dan tidak cepat meleyot seperti senjata lainnya.

Hanya dalam waktu sejam saya tahu bagaimana cara kerja senjata itu langsung dari ahlinya. Setidaknya secara teori.

Malam turun. Suara gengset yang menyebalkan itu terdengar lagi. Saya baru saja bersiap-siap akan tidur ketika mendengar ada kegaduhan di luar meunasah. Rupanya Ishak mendapat informasi kalau TNI tidak mau memberikan waktu sehari lagi untuk pelepasan sandera. Sejumlah tank dan ratusan pasukan TNI sedang dikerahkan untuk mengepung Desa Lhok Jok berikut kami yang berada disana.

Saya langsung punya firasat buruk. Saya mengemasi semua barang-barang saya dan menyusul teman-teman saya di luar meunasah.

Imam sudah mencoba meminta kepada teman-teman di Langsa untuk memberi waktu sehari lagi. Tetapi sepertinya tidak berhasil. Kami berlima duduk dalam kondisi syok. Bingung harus berbuat apa.

Para prajurit GAM sepertinya marah. Marah karena rencana tidak sesuai dengan rencana mereka. Dan kemarahan mereka sudah pasti diarahkan ke kami.

Ka pasti lagee nyoe akhee buet. Yang paih tatimbak saboh-saboh mangat leuh mandum. Hana payah tanyo (Sudah pasti akhirnya begini. Yang benar kita tembak satu-satu supaya kita tidak perlu repot),” kata seorang anggota GAM dengan mata nanar.

Yang mengancam itu, kita panggil saja Mr X,  sudah sejak siang sepertinya benci sekali pada wartawan. Dia memakai kalung yang bandulannya berbentuk kain yang saya pikir adalah jimat. Wajahnya seram.

Kata orang, si Mr X itu adalah pencari dana untuk GAM yang dulu ngetop dengan istilah pajak nanggroe. Saya melihat sejak siang dia kerap mengintimidasi saya lewat perlakuan dan kata-kata. Kemana-mana dia membawa kantong plastik berwarna hijau berisi buku catatan dan.. ada pistol jenis (kalau tidak salah) FN disitu.

Setelah mengucapkan kalimat itu, si Mr X mengambil kantong plastiknya dan langkahnya langsung menghampiri saya. Kelakuannya didukung oleh yang lain. Semua bicara dengan bahasa daerah yang saya dan Munir mengerti, tetapi tidak untuk teman saya yang lain.

Melihat itu Teungku Ishak menenangkan Mr X dan anak buahnya.

”Nyan ken cara keu masalah nyoe (Bukan ini cara menyelesaikan masalah ini),” katanya sambil memandang si Mr X tegas. ”Tanyoe hanjeut poh wartawan ntrek donya hana geudukung tanyo lee (Kita tidak bisa bunuh wartawan karena internasional tidak akan mendukung kita lagi),”

Si Mr X mundur. Pistolnya kembali dimasukkan ke kantong plastiknya. Saya gemetaran. Antara takut dan marah.

Akhirnya diputuskan untuk membawa wartawan ikut ke gunung. Ini sama seperti penyanderaan jilid ke II tetapi dengan jumlah sandera lebih banyak.

Ishak mengoda kami yang pucat pasi. Dia menyanyikan lagu anak ayam. Istilahnya dia melepaskan satu anak ayam yaitu Fery tapi dapat 5 anak ayam lainnya yaitu kami. Busyettt dah ah ah.

Sementara para prajurit GAM itu malah senang karena ada yang perempuan yang ikut.

Kana ureung taguen bu ke tanyo, betoi ken kak (Sudah ada orang yang masak nasi buat kita. Iya kan kak)?” kata mereka sambil cengengesan.

Terlepas dari rasa takut, saya membalas.

Lon hanjeut maguen. Ie mantong hangoh (saya tidak bisa masak. Air saja hangus),”  kata saya yang ditimpali cekikikan mereka.

Tanyoe jeut tasiap-siap (Kita siap-siap sekarang),” kata Teungku Ishak ke anak buahnya.

Teungku Ishak kemudian memasang stagen panjang di perutnya. Stagen itu yang membuat si panglima tidak kelelahan saat jalan jauh dan juga mencegah turun berok bila  memanggul barang berat.  Setelah rapi, dia membagi kami ke empat kelompok.

Dan olala.. saya dimasukkan ke kelompok si Teungku bersama Imam.

Saya berpikir keras bagaimana bisa saya lepas dari masalah ini. Sebuah ide muncul. Dan saya langsung menghampiri sang panglima yang sepertinya sedang bersiap-siap.

”Abusyik,” panggil saya. (Ini pertama kalinya saya memanggil beliau dengan panggilan non-formal itu)

Ishak menoleh ke saya.

Peu Nani? Ye? (kenapa Nani? Kamu takut?” tanyanya to the point seolah membaca pikiran saya.

Saya menatap sang panglima serius.

Lon kon ye, tapi lon gohlom peugah bak mak, lon jak bak droun. Misal jih teukeudi na masalah, kiban? So tanggung jaweub ke mak lon? Droun? (Saya bukan takut, tapi saya belum bilang sama mamak saya pergi ke tempat anda. Kalau misalnya terjadi apa-apa gimana? Siapa yang tanggung jawab? Teungku Mau?)” kata saya.

Di luar dugaan Teungku Ishak tertegun. Kemudian dia menatap saya dan tersenyum. Senyum yang saya rasa tulus karena tidak ada sinar kesinisan disitu.

Boh kajeut, Nani preh disinoe. Jadi jeut kalen kiban kondisi masyarakat watee ditamong tantra (jadi boleh, Nani Tunggu disini. Jadi bisa melihat kondisi masyarakat kalau tentara masuk),” katanya.

Para kelompok GAM itu berangkat satu-satu. Meninggalkan saya dengan masalah baru yaitu bagaimana menghadapi tentara yang akan masuk. Saat itu saya berpikir apa keputusan saya tidak ikut Teungku Ishak sudah keputusan yang tepat? Lebih enak mana berhadapan dengan TNI atau GAM. Ini pilihan sulit.

Beberapa masyarakat memberikan saya minum dan selimut. Mereka juga mengajari saya bagaimana tiarap dan juga berlaku bila sedang diperiksa TNI. Mereka minta saya sabar dan banyak berdoa.

Saya terharu. Masyarakat. Mereka selalu menjadi korban. Tapi mereka begitu tabah dan tidak pernah mengeluh. Meski kadang rumah mereka dibakar, anak mereka ditangkap, kemudian terbunuh, atau harus membayar pajak pada GAM… Mereka tergencet diantara GAM dan TNI. Sampai kapan mereka akan terus begitu?

Saya sudah pasrah. Tetapi Allah masih melindungi saya. Negosiasi teman-teman kami di Langsa membuahkan hasil. TNI akhirnya memutuskan memberi waktu 24 jam lagi untuk Gam melepaskan masyarakat.

Hanya dalam waktu 1 jam kondisi kembali aman, dan para GAM yang sudah masuk hutan itu kembali ke Lhok Jok. Saya melihat Teungku Ishak senyum-senyum saat kembali ke Meunasah.

Na yang ye ke mak, (ada yang takut ke Mamaknya),” katanya menggoda saya ketika melihat saya menyambut kedatangannya.

Meskipun kondisi sudah aman, saya tetap tidak terima diintimidasi oleh MR X. Saya kemudian bicara pada Teungku Ishak saat saya menemukan dia sendirian.

Lon hana teurimong aneuk buah droun yang ancam-ancam lon nyan (saya tidak terima anak buah anak yang ancam-ancam saya itu),” kata saya begitu duduk disebelah Ishak.

Lon lakee meah beh. Awak nyan memang bingkeng. Tapi sebetoi jih get akai (saya minta maaf ya, mereka memang agak pemarah, tapi sebetulnya mereka orangnya baik kok),” kata Ishak menenangkan saya.

(NOTE: Saat masa damai saya mencoba men-trace keberadaan si MR X. Belakangan saya mendapat info kalo Mr X saat ini dipenjara di Philipina karena ketahuan menyeludupkan senjata untuk GAM hanya berselang beberapa hari sebelum penandatanganan perjanjian damai. Saya tidak tahu harus senang atau malah kasihan)

Ishak kelihatannya senang karena semua berjalan sesuai rencana. Kenduri berhasil dilangsungkan. Masyarakat sudah diserahkan ke ICRC, dan Fery mau kembali ke Lhok Jok untuk acara.

Kami berpisah sore harinya. Ishak menjabat tangan saya. Kali ini lebih lama dan akrab.

Pajan-pajan tanyoe ta meurumpok lom tapi laen watee lakee izin ilee bak Mak (Kapan-kapan kita ketemu lagi, tapi kali ini izin dulu sama mamak ya),” katanya sambil tersenyum.

Kali ini saya tidak bisa menahan tawa.

Ishak menghilang di kejauhan diikuti anak buahnya. Tidak ada pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Bulan September 2004 atau 4 bulan setelah pertemuan saya terakhir, saya mendapat info kalau Teungku Ishak sudah tertembak dan meninggal bersama Istrinya Cut Rostina.

Saya sempat tertegun dengan informasi itu. Karena ingatan saya pada beliau begitu kuat. Saya tidak menyangka Ishak Daud akan pergi secepat itu padahal beberapa bulan ke depan Aceh akan berdamai… Ishak pergi tanpa pernah merasakan manisnya perdamaian seperti para petinggi GAM lain yang kini bergelimang harta, jabatan dan istri yang cantik-cantik.

Terlepas dari kejadian terakhir di Lhok Jok, saya tetap mengagumi sang panglima sebagai komandan GAM terbaik. Buat saya beliau tidak hanya berkharisma dan alim, tetapi juga sangat menghormati perempuan.  Untuk wartawan perempuan seperti saya, liputan di wilayah konflik berarti harus siap juga dengan gangguan, godaan bahkan terkadang pelecehan seks. Tetapi, beberapa kali bertemu dengan Teungku Ishak, saya merasa diperlakukan cukup baik dan terhormat.

Selamat Jalan Teungku Ishak, saya akan selalu mengenangmu…

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian V)

Siang begitu terik ketika kami tiba di Desa Lhok Jok. Begitu kami akan menjangkau desa itu, mobil diberhentikan oleh pasukan GAM bersenjata lengkap untuk digeledah.

So here we are.. pikir saya nelangsa.

Saya membawa tas kamera besar (saya memang juga bekerja untuk European Press Photo Agency (EPA) saat itu)  yang berisi satu body kamera Canon D10, dua lensa, 6 buah batere kamera, 2 buah kartu memory card camera 512 megabytes, notes, handphone (yang sama sekali tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal), pulpen, kain batik panjang, sikat gigi, inheler ventolin (saya asma berat), 10 butir obat alergy salbutamol, senter kecil (warna hitam pemberian sobat saya wartawan BBC).

Anggota GAM bersenjata lengkap itu membawa kami menuju ke sebuah meunasah di Desa Lhok Jok.

Pat Teungku Ishak? (mana Teungku Ishak?)” tanya Munir yang sedari tadi sibuk mengambil gambar dengan handy cam-nya.

Abusyik siat trek troh Bang, neupreh mantong (Abusyik sebentar lagi datang, tunggu saja),” kata si prajurit.

Kami duduk di dekat Meunasah yang mulai ramai oleh masyarakat. Sebuah mobil sedan berhenti tak jauh dari kami. Pengacara Ishak Alfian turun membawa istri Ishak Daud, Cut Rostina dan dua anaknya.

Tak lama kemudian Ishak Daud muncul dari kejauhan bersama dengan belasan pasukan GAM bersenjata lengkap. saya yang mengambil gambar Ishak dengan lensa panjang saya cukup kaget melihat kondisi Ishak. Diakui atau tidak Panglima itu memang agak berubah. Kini beliau lebih kurus, lebih hitam dan kelihatan lelah.

Perbedaan lain, kini Teungku Ishak menenteng AK-47 untuk dirinya sendiri. Ada peluru cadangan di kantong celananya. Padahal sebelumnya saya melihat beliau hanya memakai pistol FN.  Ransel hitam di punggungnya kelihatannya sangat berat.

Namun senyumnya sama pada saat saya bertemu dengan beliau setahun yang lalu. Dan terus terang saja, kondisi itu malah membuat beliau makin tambah keren.

Ishak tidak menghampiri kami. Dia langsung menghampiri istri dan anaknya. Saya melihat Ishak memeluk anak laki-lakinya Ambiya dengan erat. Ada kerinduan yang bisa saya lihat dari moment pertemuan Ishak dan keluarganya.

Setelah itu barulah beliau menyalami para wartawan. Senyumlah langsung merekah begitu melihat saya. Seperti biasa dia menyalami saya buru-buru ketimbang teman wartawan laki-laki lainnya.

Nyan ban, menyo hana lagee nyan hana mungken tanyoe meurumpok. Betoi ken Nani (Nah kan, kalau tidak seperti ini mana mungkin kita bertemu. Iya kan Nani)?” kata Teungku Ishak.

Saya tersenyum kecut.

Kami ngobrol-ngobrol soal prosesi pembebasan Fery. Imam dan teman-teman lain mendominasi pembicaraan, sementara saya sibuk mengambil foto prajurit GAM yang mondar mandir.

Ishak mengatakan kalau prosesi penyerahan Ferry baru bisa dilakukan besok siang. Masalahnya bukan hanya Fery yang akan diserahkan ke ICRC tetapi juga ratusan masyarakat yang selama ini berlindung pada GAM karena diancam TNI. Masalah lain adalah karena jumlahnya ratusan, mereka berada di tempat-tempat berbeda-beda. Butuh waktu untuk membawa mereka semua ke Lhok Jok.

”Perlu waktu dua tiga hari lah,” kata Ishak santai.

Saya mengerutkan kening, dua tiga hari? Loh bukannya kami hanya menginap semalam?

 

Ishak sepertinya mengetahui pikiran teman-teman wartawan. Dia tertawa.

”Orang-orang itu sama seperti Fery, mereka butuh perlindungan ICRC jadi harus diperlakukan sama,”  katanya. ”Dan karena kalian semua sudah disini, kalian harus menunggu proses sampai selesai,”

Ishak kemudian menambahkan kalau dia akan melakukan kenduri (acara makan-makan) di Lhok Jok dalam prosesi penyerahan Fery.  Semua sudah siap, termasuk konsumsinya.

Saya mencoba untuk tidak mengeleng-gelengkan kepala. Ampyunnnn.. Dalam kondisi begini masih sempat-sempatnya acara kenduri. Jangan-jangan Teungku Ishak lupa kalau diluar sana TNI sedang sebel-sebelnya menunggu prosesi ini agar cepat selesai….

Imam kelihatan cemas. Saya tahu alasannya. TNI hanya memberikan waktu tidak lama untuk prosesi pembebasan Fery. Nah kalau sampai dua tiga hari bisa bahaya..

Rekan-rekan wartawan akan menginap di meunasah bersama prajurit GAM lain. Ishak menoleh ke saya.

Nani dem bak rumoh masyarakat beh. Mangat lebeh mangat eh (Nani nginep di rumah masyarakat ya. Supaya tidurnya lebih enak),” katanya.

Saya langsung menolak. Kalau mau tidur enak jelas dirumah sendiri di Sigli sana bukannya di sini. Dalam kondisi seperti ini lagi.

Lon bah disinoe teungku. Meusapat ngon yang laen (saya biar disini Teungku, barengan sama yang lain),” kata saya.

Betoi? disinoe le nyamok (beneran? Disini banyak nyamuk),” dia seolah tak percaya.

Betoi, tapi jeut lon lakee bantai saboh (Benar, tapi boleh minta bantal satu)? Kata saya cengengesan.

Setengah jam kemudian saya mendapatkan bantal yang lumayan empuk. Sarung bantalnya merah jambu dan baunya sangat bersih. Pasti dari masyarakat di sekitar. Bukan hanya saya, teman-teman lain juga mendapatkan bantal.

Sementara Teungku Ishak sudah menghilang. Kata anak buahnya dia menginap di rumah salah satu kerabatnya di Lhok Jok bersama anak dan istrinya.

Sore menjelang. Kami bersama beberapa anggota GAM menuju tempat untuk cuci muka dan mandi. Saya tidak mandi, hanya cuci muka saja. Beberapa dari prajurit GAM malah sudah bercelana pendek dan mandi di sumur yang bersih itu. Senjata mereka diletakkan tak jauh dari pakaian mereka. Sepertinya mereka balas dendam dengan banyak memakai air. Saya berdiri agak jauh dari mereka. Risih saya.

”Jarang-jarang kami dapat air Kak, makanya kalau ada air ya kami mandi puas-puas,” kata salah satu prajurit GAM yang menemani saya menunggu rekan-rekannya mandi.

Saya mangut-mangut. Dari jauh saya melihat beberapa dari prajurit sepertinya keramas karena busa shampoonya banyak sekali.

Selesai mandi dan sudah dalam kondisi wangi (bau sabun, shampoo dan colonge entah apa mereknya).

Sore makin gelap. Kondisi perkampungan kini gelap gulita. Tidak ada listrik di kampung itu karena sudah lama pihak GAM memutus aliran listrik. PLN tidak berani masuk ke kampung itu karena terkenal sebagai basis GAM. Kampung itu sering didatangi GAM karena lokasinya dekat dengan perbukitan.

Meunasah itu diterangi oleh gengset yang suaranya membuat kepala saya sakit. J

Para prajurit GAM itu melakukan shalat magrib berjamaah dengan khusuk. Setelah itu hidangan makan malam terhidang menunggu untuk disantap.Saya lupa menu malam itu. Tetapi kami makan dengan perasaan senang.

Ishak datang mengunjungi kami seusai shalat Isya. Dia membawa serta Ambiya anaknya. Kami ngobrol macam-macam, mulai dari darurat militer, perdamaian yang gagal, kronologis penyanderaan Fery versi Ishak Daud, dan yang sudah saya duga soal wartawan yang dianggap memihak ke tentara.

”Seharusnya wartawan itu mencari berita turun langsung ke masyarakat, bukan malah dari tentara. Itu kan namanya tidak objektif,” katanya serius.

Kami yang hadir mangut-mangut takzim.

”Kalau hanya dari militer bagaimana kalian tahu kebenaran yang terjadi. Masyarakat sudah banyak yang jadi korban, masa kalian pura-pura tidak tahu,” balasnya lagi.

Menjelang pukul 9 malam, Ishak pamit dan meminta kami semua istirahat. Salah satu anggota GAM memberikan lotion anti nyamuk kepada kami.

”Nyamuk disini besar-besar, ini bisa membantu,” katanya sambil tersenyum ramah.

Saya merebahkan diri di lantai pojokan meunasah yang dialasi tikar. Menutup tubuh saya dengan kain batik panjang. Cukup lama juga saya tidak bisa tidur. Bahkan saat gengset itu akhirnya dimatikan dan sekeliling menjadi begitu gelap. Yang terlihat kini hanyalah beberapa bayangan prajurit GAM berjaga di bawah sinar bulan…

–00—

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian IV)

Informasi rencana pembebasan Fery Santoro sangat santer. Wartawan berkumpul di Losmen Kartika Langsa semakin banyak. Mereka berasal dari Banda Aceh, Lhokseumawe, Medan bahkan juga dari Jakarta Kebanyakan adalah wartawan TV yang membawa serta mobil SNG mereka.

Satu kamar losmen ditempati hingga 4 hingga 5 orang karena semua wartawan tidak mau tinggal berpisah-pisah. Mereka takut tidak berhasil meliput pembebasan Fery dan memutuskan stick together till the end.

Dari semua rombongan, saya melihat Imam Wahyudi dari RCTI dan teman-teman dari AJI sibuk menghubungi pihak Ishak dan militer. Menghubungi Ishak Daud untuk prosedur pembebasan Fery dan menghubungi penguasa darurat militer untuk permintaan agar pihak militer bisa memberikan waktu dan tidak menyerang.

Losmen Kartika bertambah ramai karena ditambah relawan PMI dan tentara-tentara. Belakangan penguasa darurat militer daerah (PDMD) Mayjen TNI Endang Suwarya dan para pengawalnya malah ikutan menginap di Losmen Kartika. Kamar mereka tidak jauh dari tempat kami berkumpul 🙂

Selain PMI, delegasi ICRC juga terlihat sibuk. Mereka sering melakukan rapat dengan PMI, Militer dan beberapa perwakilan RCTI dan AJI. Mencari formula yang paling tepat untuk pembebasan sang sandera. Pihak Ishak Daud yang diwakili lawyernya Alfian juga selalu terlihat dan menjadi sasaran empuk wawancara jurnalis yang haus berita.

Segala sesuatu bisa berubah setiap hitungan jam. Bahkan konfrensi pers pun bisa dilakukan pukul 12 malam. Saya sempat berpikir kok bisa ada konfrensi pers tengah malam sementara koran sudah naik cetak dan TV sibuk memutar film action saat jam seperti itu.  🙂

Semua wartawan punya ambisi sama, yaitu bisa menyaksikan pembebasan Fery. Keinginan itu diakomodir Ishak Daud  yang ternyata mengundang semua wartawan untuk datang tanpa terkecuali. Undangan itu jelas tidak disetujui oleh PDMD karena berbahaya dan memberi peluang untuk GAM menaikkan pamornya.

Setelah beberapa hari mengalami deadlock, akhirnya win win solution dicapai. Fery akan dilepas. Pihak PDMD tidak akan mengerahkan pasukannya selama proses itu. Tidak semua wartawan boleh masuk, hanya beberapa saja yang dipilih dan setujui GAM dan PDMD. Bahan berita, foto, gambar video yang didapat akan menjadi milik semua orang alias poll. Tidak ada ekslusif-ekslusifan karena misi kemanusiaan diutamakan.

Sejumlah nama perwakilan wartawan dipilih. Beberapa di tolak karena bekerja di media asing (yang menolak adalah TNI, sementara Ishak justru sangat senang dengan blow-up media asing). Setelah proses yang cukup panjang itu akhirnya saya dihubungi ketua AJI waktu itu Eddy Suprapto untuk masuk dalam tim.

Alasan memasukkan saya ke tim ternyata karena dua faktor 1. saya perempuan (alamak) 2. saya pernah berhubungan baik dengan Ishak (nah loh). Saya baru sadar ternyata dalam hal emergency seperti ini masalah gender juga harus dipertimbangkan.

Saya sadar sesadar-sadarnya ini bukan pekerjaan yang aman. Masuk ke tempat GAM saat darurat militer? Bisa-bisa ketika keluar saya akan ditangkap oleh militer dan diinterogasi. Apa pun mungkin saat darurat militer.

Teman AJI meyakinkan saya kalau semua akan aman-aman saja.

”Ada Munir RCTI juga dalam rombongan,” kata Pak Eddy saat itu.

Saya melirik Bang Munir yang tersenyum-senyum simpul. Saya mengenal Bang Munir sejak lama.  Beliau teman liputan yang sedikit konyol dan berani. Yang lebih penting beliau wartawan lokal, sama seperti saya. Munir juga kecilnya pernah di Aceh Timur, setidaknya kalau ada apa-apa ada yang bisa saya andalkan.

”Perjanjiannya harus menginap,” kata Pak Eddy.

”Kalau semalam tidak masalah,” kata saya.

Terpilihnya saya dan beberapa teman (Husni Arifin/ Republika, Munir dan Imam/RCTI, Nezar Patria/ Tempo/AJI dan Solahuddin IFJ) menunai berbagai kecaman.  Banyak diantara mereka yang menganggap pemilihan anggota tim tidak fair.

Bahkan saya sempat dimusuhi beberapa teman yang menganggap saya sengaja menyodor-nyodorkan diri supaya bisa dimasukkan ke dalam tim. Saya dianggap terlalu berambisi, egois dan mau menang sendiri.

Andai saja mereka tahu kalau saya menerima permintaan ini murni hanya karena saya ingin Fery cepat bebas. Kami, wartawan lokal, cukup lelah dengan masalah sandera ini dan ingin cepat selesai. Tidak ada pikiran untuk mendapatkan gambar ekslusif dari sana. Kalau bisa saya malah ingin bertukar tempat.

Andai mereka pernah menginap semalam dengan Teungku Ishak seperti yang pernah saya alami tahun 2001, mereka pasti akan tahu bahwa ini bukan keputusan mudah.

Andai mereka tahu bahwa tidak ada seorang pun yang bisa tahu apa yang akan terjadi di ”dalam” sana termasuk juga jaminan bahwa ketika keluar dari sana kami akan selamat.

Menjadi jurnalis di wilayah konflik memang terkesan keren dan semua orang berlomba-lomba ingin pernah merasakannya. Tapi tidak banyak yang tahu kalau nyawa diri dan keselamatan orang banyak lebih penting dari cuma satu dua foto ekslusip.

Akhirnya tanggal 13 May tim kami berangkat ke kawasan Peudawa. Menuju Desa Lhok Jok. Tidak pernah saya bayangkan bahwa saya akan mengalami hal yang lumayan membuat saya trauma di sana..

(BERSAMBUNG)

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian III)

Indonesia menerapkan darurat militer di Aceh tanggal 19 Mei 2003 setelah dialog antara GAM dan Indonesia yang difasilitasi HDC gagal. Sebenarnya kegagalan dialog itu sudah terlihat sejak pertama karena kedua belah pihak tetap saling tidak percaya dan masih saling serang.

Yang saya ingat pemerintah kemudian menempatkan 30,000 pasukan TNI dan 12,000 polisi di Aceh untuk mensukseskan darurat militer tersebut, dengan target menghancurkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Masa darurat militer cukup menyibukkan kami yang berprofesi sebagai wartawan. Bukan hanya meliput berita yang kebanyakan insiden, tetapi juga memilah-milah mana berita yang bisa dikeluarkan karena salah-salah kami juga bisa dianggap mendukung pihak GAM. Selama darurat militer, sepertinya istilah cover both side terlupakan karena semua informasi resmi itu berasal dari militer, sebagai penguasa darurat di Aceh.

Suatu hari di awal bulan Juni 2003, saya ditelpon nomer satelit. Nomer yang tidak tersimpan di HP saya.

Assalamualaikum, Nyoe Nani (Assalamualaikum, apa ini Nani?)?”

Waalaikum salam, betoi, meuah, nyoe numboi soe (Waalaikumsalam, benar. Maaf, ini nomer siapa ya?)?” tanya saya.

Saya mendengar lawan bicara saya tertawa terbahak-bahak.

Omannn…Bagah that tuwo keu lon. Nyoe lon Ishak (ya ampun cepat sekali lupa saya. Ini Ishak,”

Saya merasa jantung saya berdegub sangat kencang. Ini pertama kalinya Ishak Daud menelpon saya sejak darurat militer di tetapkan di Aceh. Tangan saya langsung keringatan. Tapi saya mencoba menguasai diri dari kegugupan saya.

Oh Teungku Ishak? Kiban teungku? Peu jroh mandum (oh Teungku Ishak? Bagaimana Teungku? Baik semua)?”

Nyoe kamoe kondisi bermasalah bacut Nani. Tapi kamoe hana tem surot. Hana peu syahid demi Aceh. Awak nyan rame that, yang sayang masyarakat habeh ye mandum. Nyoe payah Nani teupeu. (Kondisi kami agak bermasalah sedikit Nani. Tapi kami tidak akan mundur. Tidak apa-apa mati syahid demi Aceh. Mereka ramai sekali dan yang kami sayangkan masyarakat semua takut, ini yang harus Nani tahu,” kata Teungku Ishak panjang lebar.

Oh my God, saya tidak tahu harus bilang apa dan berkomentar apa pada pernyataan Ishak itu. Haruskan saya bilang Teungku hati-hati ya? Atau haruskah saya bilang Saya doakan Teungku, atau saya harus bilang kata-kata lain yang menunjukkan simpati?  Bukankah Ishak Daud juga manusia yang mungkin butuh support dan spirit? Beliau sudah hampir 3 tahun menjadi nara sumber saya.

Tapi kalau saya memberikan semangat pada Teungku Ishak Daud berarti saya memihak dong. Terus bagaimana dengan pihak satu lagi?

Saya mengigit bibir saya. Ishak Daud menganggap Indonesia salah karena menjajah Aceh, dan sebaliknya Indonesia menganggap Ishak Daud sebagai separatis yang ingin keluar dari negara kesatuan.

Nah, berdasarkan pengalaman, saya tahu sekali kalau posisi saya sebagai wartawan ya berdiri di tengah-tengah bersama masyarakat biasa yang menderita karena pertikaian itu. Itu sudah mutlak.

Nani, lon senang droun dalam kondisi jroh. Meudoa ke kamoe beh. Semoga tanyoe bagah merdeka. Insya Allah (Nani, saya senang kamu dalam kondisi baik. Tolong doakan kami ya. Semoga kita semua cepat merdeka. Insya Allah), ‘ kata Ishak.

Insya Allah Teungku beujroh sabee (Insya Allah Teungku baik-baik selalu),’  kata saya.

Boh kajeut. Merdeka (Baik, Merdeka). ” telpon ditutup.

Ishak Daud memang selalu menyebut kata Merdeka setiap menutup telponnya.

Itu kali terakhir Ishak Daud menghubungi saya. Berikutnya dia pasti kehilangan jejak saya karena no telpon yang biasa saya gunakan mendadak diblokir oleh Penguasa Darurat Militer. Nomer saya itu dianggap terlalu intens berhubungan dan menghubungi pihak GAM. Ohhh nooo….

Beberapa minggu kemudian saya disibukkan dengan liputan yang tidak habis-habisnya. Dan pada akhir Juni 2003 saya mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Ishak Daud menyandera wartawan. Ampyunnn…

Saya sempat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, disaat mereka diserang ribuan TNI kok bisa-bisanya mengadakan sweeping di jalanan dan kemudian menyandera orang. Ishak benar-benar membuktikan diri kalau dia masih punya taring dalam soal culik menculik. Bahkan dalam kondisi darurat militer sekalipun.

Berikutnya saya mengetahui kalau korban penculikan Teungku Ishak adalah wartawan RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro. Bersama Ersa juga ditawan dua orang istri perwira AU yaitu Safrida (35) dan Suraya (30). Terlepas dari kekesalan saya pada Teungku Ishak yang nekad menyandera wartawan, saya merasa agak aneh juga kenapa Bang Ersa membawa dua orang sipil –istri tentara pula—di dalam mobilnya.

Kembali Ishak Daud menjadi primadona media paska menyandera sipil. Semua media menghubunginya. Dan dia menyatakan kalau dia mencurigai ada pihak militer yang menyamar menjadi wartawan sehingga dia terpaksa juga menyandera wartawan RCTI.

Selama heboh diculiknya wartawan RCTI, saya kebetulan lebih konsentrasi liputan di Banda Aceh. Untuk liputan soal Ishak Daud lebih banyak dilakukan oleh rekan The Jakarta Post yang kebetulan berada di Lhokseumawe, Aceh Utara. Saat itu memang banyak sekali wartawan yang datang dari Jakarta untuk melakukan peliputan di Aceh.

Begitu juga saat Bang Ersa meninggal waktu kontak tembak di kecamatan Simpang Ulim Desember 2003, semua proses peliputan dilakukan oleh rekan-rekan di Lhokseumawe. Selamatnya para istri TNI dalam sandera GAM juga menjadi berita penting setelahnya.

Kini hanya tinggal kameramen RCTI Fery Santoro yang masih disandera. Dan itu sudah menjelang setahun.

Fery Santoro menunggu dibebaskan Ishak Daud
Fery Santoro menunggu dibebaskan Ishak Daud/ foto Nani Afrida

Saya baru aktif meliput penyanderaan Fery Santoro setelah bulan May 2004. Saat itu memang GAM berencana melepaskan Fery. Saat itulah pertama kali saya menelpon Ishak Daud setelah hampir 6 bulan tidak pernah menghubungi dan dihubungi.

Nani, peu haba? Gethat sombong hana hubungi lon (Nani, apa kabar? Sombong sekali tidak pernah hubungi saya)?” kata Ishak begitu saya memperkenalkan diri.

Saya langsung bertanya kapan Fery akan dibebaskan.

Nyan hana masalah Nani. Kamoe na rencana chit undang wartawan keu peukara nyoe. Jak beh? (Itu tidak masalah Nani. Kami juga punya rencana mengundang wartawan untuk masalah ini. Pergi ya nanti,)” kata Teungku Ishak.

Nyan kira-kira pajan Teungku. Bek trep that, sayang ngon lon nyan (Jadi kapan itu kira-kira teungku. Jangan lama-lama. Kasihan teman saya itu,),” kata saya.

Di seberang saya mendengar Ishak tertawa.

Ntrek lon hubungi Nani beh. Pokok jih beusiap sabee (Nanti saya hubungi, yag penting selalu siap), Merdeka,” katanya.

Saya tersenyum kecut.

Bang Munir Nur, teman saya yang menjadi koresponden RCTI di Lhokseumawe mengaku sudah bosan dan lelah membujuk Ishak Daud melepaskan Fery.

”Orangnya keras kepala dan tidak peduli. Jadi tidak ada gunanya membujuk dia,” kata bang Munir yang sejak diculiknya tim RCTI makin intens berhubungan dengan Ishak Daud.

Munir juga mengaku sudah menghubungi panglima GAM lain untuk membujuk Ishak Daud. Salah satunya adalah Darwis Jeunieb, Panglima GAM wilayah Batee Iliek, Tapi, juga gagal.

”Padahal Ersa itu akrab dengan Darwis Jeunieb karena sering liputan ke Jeunieb, tapi tidak ada gunanya juga,” ujar Munir putus asa.

(BERSAMBUNG)

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian II)

pasukan Ishak Daud
pasukan Ishak Daud/ Photo by Nani Afrida

Setelah pertemuan di Keude Gerubak tahun 2001 itu saya tidak pernah lagi ke Aceh Timur untuk bertemu Ishak Daud. Maklum, karena posisi saya di Banda Aceh, saya cenderung untuk meliput di kawasan Aceh Besar atau Aceh Utara. Kawasan Aceh Timur memang biasanya diliput teman-teman wartawan di Aceh Utara.

Meskipun demikian saya sering menghubungi Ishak Daud melalui telpon satelitnya sekedar konfirmasi berita atau beliau menelpon untuk melaporkan suatu kejadian. Saya memang mulai menjadi koresponden The Jakarta Post untuk Aceh waktu itu. Biasanya beliau menelpon sore hari, seakan tahu sekali kalau deadline saya itu pukul 5 sore.

Tentu saja tidak semua informasi yang diberikan panglima GAM yang satu ini bisa saya tulis. Saya bukan corong mereka dan saya akan memilih yang benar-benar penting untuk media saya. Sebagai wartawan saya mesti berjuang untuk memilah news value dan berusaha sedemikian mungkin untuk tidak terjebak di antara TNI  dan GAM 😦 Sumpah, ini bukan pekerjaan yang mudah.

Di akhir tahun 2002 ternyata saya kembali bertemu Panglima Ishak Daud. Beliau mengundang saya untuk “main” ke tempatnya.

“Ke sinilah, nanti kita makan ikan bakar sama-sama,” katanya. Ikan bakar? Saya sepertinya tergoda untuk memenuhi undangan itu. Bukan karena ikan bakarnya, tetapi karena saya kebetulan penasaran dengan kondisi Panglima itu.

Dan kelihatannya beliau semringah begitu tahu saya bersedia ke tempatnya.

“Nah, nyan jroh. Bek jak u piasan awak tantra manteng (nah itu kan baik, jangan Cuma datang ke acara tentara saja),” katanya masih sempat-sempatnya bersinis ria pada saya.

Undangan itu juga kebetulan datang saat Aceh sedang mencoba untuk menyelesaikan konflik sejak 1976 itu. Adalah Henri Dunant Center (HDC) yang sedang mencoba menjadi fasilitator perdamaian antara GAM dan TNI di tahun 2002. Dalam proses perdamaian itu, ada proses yang dinamakan the cessation of hostilities agreement (perjanjian penghentian permusuhan). Pihak GAM dan TNI dilarang saling serang.

Saya dan beberapa teman dari Banda Aceh dan Lhokseumawe kemudian berangkat ke Aceh Timur. Seperti biasa hanya saya satu-satunya perempuan dalam rombongan. Kami sempat bermalam di losmen Kartika (sekarang hotel) Langsa semalam, sebelum paginya mendapat informasi dimana pertemuan akan diadakan.

Sepertinya pergerakan kami sudah diketahui beberapa aparat keamanan yang menyamar di losmen tempat kami menginap. Para anggota intelejen itu mondar mandir di depan kami yang kebetulan baru pulang sarapan nasi gurih di dekat losmen. Beberapa dari mereka malah duduk dekat kami, sementara yang lainnya duduk di teras losmen.

Sebagai wartawan yang sudah lama di Aceh, kami sangat mengenal mana yang intelejen aparat keamanan atau yang intelejen GAM.

“Kita harus naik kendaraan biasa,” kata seorang teman TV. ”Kalau membawa mobil bisa-bisa kita diikuti,”

Ishak Daud menelpon dan mengatakan bahwa pertemuannya akan diadakan di suatu kawasan dekat Simpang Ulim yang artinya kami semua harus kembali lagi ke arah Lhokseumawe.

Kami menumpang labi-labi (angkot di Aceh), kemudian menyambung kendaraan colt L-300. Di Simpang Ulim (mengikuti petunjuk Ishak lewat telepon satelitnya) kami berbelok menuju kawasan Pante Bidari Aceh Timur. Cukup jauh juga kami menyusuri jalan hingga akhirnya mobil itu berhenti di sebuah tempat bertenda biru yang  dipenuhi dengan penduduk setempat.

Ishak menyambut rombongan kami dengan senyum lebar. Masih seperti beberapa tahun saya bertemu, panglima ini kelihatan tetap cool. Pakaiannya rapi sepertinya siap bertemu dengan wartawan. Pistol jenis FN terlihat di pinggangnya, sementara anak buahnya seperti biasa menjinjing senjata AK-47 dan M-16 berbaur dengan masyarakat, termasuk anak-anak dan para remaja putrinya.

Bila dengan wartawan lelaki Ishak bersalaman sangat lama, saya justru diperlakukan beda. Dia menjabat tangan saya sekilas dan begitu cepat seolah terpaksa harus bersalaman dengan perempuan. Meski begitu, dia begitu ramah pada saya, bahkan jauh lebih ramah dibanding pertemuan di Keude Geurubak beberapa tahun yang lalu.

”Kiban Nani? Jroh mandum (bagaimana Nani, semua baik?)?” tanyanya. Pertanyaan sama yang biasa dia lontarkan kalau menelpon saya.

Di tempat itu kami kembali bertemu dengan masyarakat yang begitu mengidolakan sang panglima. Tidak ada rasa takut di wajah mereka. Padahal saya, dan saya yakin mereka juga, tahu kalau sebentar lagi akan ada operasi TNI ke wilayah tersebut mencari idola mereka. Dan seperti biasa rakyat sipil akan diinterogasi.

Kami ngobrol soal update kondisi kekinian Aceh yang menjelang perdamaian. Ishak sepertinya tidak begitu percaya bahwa perdamaian akan terjadi. Pasalnya meskipun ada informasi penghentian permusuhan, TNI tetap saja melakukan operasi.

”Bagaimana mungkin bisa damai kalau tidak ada kepercayaan,” katanya serius.

Menjelang siang pesta ikan dimulai. Ada banyak ikan besar, termasuk ikan pari, yang panggang masyarakat untuk dimakan bersama-sama. Saya hanya menghabiskan seekor ikan ukuran kecil yang seperti biasanya rasanya sangat enak. Sementara teman-teman saya sepertinya mabuk ikan bakar.

Menjelang sore kami meninggalkan tempat itu. Saya bersyukur tidak perlu menginap kali ini. Kali ini kami langsung tancap gas ke arah Lhokseumawe tanpa melihat kiri kanan. Beberapa teman kelihatannya tertidur sepanjang perjalanan. Mungkin mereka kebanyakan makan ikan bakar.

(Bersambung)