Lebaran Sunyi

Karena dibesarkan di Aceh, saya selalu menghadapi hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan bersuka cita. Sejak kecil kami memang terbiasa untuk berlebaran dengan semarak.  Rumah penuh tamu. Hidangan berlimpah baik buatan sendiri maupun kiriman orang, dan bertemunya dengan banyak saudara.

Untuk menyambut lebaran, kami semua biasanya diharuskan membersihkan rumah. Ini bukan pekerjaan mudah karena rumah kami bangunan jaman dulu yang terdiri atas kayu dan tembok. Banyak sarang laba-laba di dinding. Untuk itu kami harus ekstra semangat membersihkan mulai dari  kaca jendela, lantai dan halaman pekarangan yang selalu kotor karena daun rambutan dan mangga. Acara bersih bersih ini cukup melelahkan karena biasanya akan berakhir saat sore.

Selesai bersih-bersih, Ibu akan mengajak kami berziarah ke makam. Sebelumnya ibu sudah membuat semacam air untuk disiram ke makam nenek. Isinya bunga-bungaan, jeruk purut, dan kembang kelapa. Wangiiii sekali. Tetapi juga sekaligus horror karena wanginya mengingatkan kami akan orang meninggal. Maklum, jenazah biasanya dimandikan dengan air dengan ramuan itu.

Saya masih ingat ketika masih SD, setiap malam lebaran kami membakar banyak lilin dan kembang api di depan teras rumah sambil menunggu rombongan takbir lewat di depan rumah. Ibu masih sibuk di dapur, dan pukul 8 malam kami sudah menyantap lontong sayur dengan daging rendang yang baru saja masak.

Pagi harinya, ibu biasa masak nasi uduk dengan dedeng yang wangi. Kami kemudian akan bersiap-siap ke lanah lapang untuk shalat Ied.

Kalau lebaran Idul Fitri, kami diharuskan sarapan dulu sebelum berangkat, tetapi kalau lebarah Idul Adha, kami harus puasa dulu sampai waktu selesai shalat. Ibu biasanya membawa sedikit kue atau permen untuk buka puasa ditempat shalat. Sembari kami mendengar ceramah yang tentu saja dibawakan dengan bahasa Aceh, dan sudah pasti selalu up to det, kami mengunyah kue atau berebutan permen 🙂

Kami sekeluarga kemudian mengunjungi semua saudara yang masih hidup. Kakek, nenek, tante, om, nenek dari ibu, kakek dari bapak, tante dari ibu, tante dari bapak, saudara sepupu tante dan lain-lain dan seterusnya. Karena banyak saudara, setiap lebaran kami mengunjungi beberapa kampung. Tentu saja untuk memperkuat tali silaturahmi. Saya sering berpikir, semua orang di kampung saya itu bersaudara, terbukti kami mampir ke semua rumah.

Bisa jadi kesimpulan saya, lebaran itu hari capek. Capek bersilaturahmi, capek mencuci gelas tamu dan capek membersihkan rumah.. 🙂

Kalau hari raya Idul Adha, biasanya paling ramai di Meunasah. Selain orang-orang fakir miskin, biasanya daging juga dibagi lumayan adil untuk penghuni kampung lain. Jadi kamii juga bisa merasakan daging kurban kambing dan sapi. Diantar langsung oleh panitia kurban. Biasanya ibu akan memasak kari kambing aceh, spicy dengan lemaknya yang terapung…  Hmmm yummy..

Takbir Idul Adha akan bergema tiga hari tiga malam. Tetapi suasana lebaran di kampung saya tetap terasa sampai sebulan. Jangan heran, orang tetap akan bersalam-salaman meskipun hari raya sudah lama berlalu.

Setelah semua itu, saya menikah dan kini berlebaran di Jakarta. Alamak… sepi sekali acara berlebaran di sini. Bahkan setelah shalat Idul Adha atau Idul Fitri, Semuanya akan berakhir biasa-biasa saja. Bahkan seperti tidak terjadi apa-apa.

Mendadak saya kangen masa lalu. Kangen berlebaran seperti dulu. Tidak apa-apa harus membersihkan rumah dan mencuci gelas karena banyaknya tamu.. yang penting saya ingin kembali merasakan saat orang-orang sangat menghargai lebaran, bukan sekedar ketupat dan mudik.. 😦

Akhirnya Pakai Skype

Tanggal 19 Oktober yang lalu, tiba-tiba handphone saya berdering. Saat itu saya baru saja bersiap-siap akan keluar dari busway di halte Dukuh Atas. Suara deringan (maklum HP Jadul) sempat membuat saya keki. Maklum saat itu halte Dukuh sedang penuh-penuhnya orang, dan saya harus buru-buru menuju kolidor tetangga untuk mencegat bus ke arah kota.

Nomer yang tertera di LCD hape jadul itu tidak saya kenal

“Halo?’ saya menjawab sambil berusaha keras bisa mendengar suara di seberang saya.

Sepi

“Halo?” saya menyapa lagi, kali ini dengan suara keras karena ributnya penumpang yang menunggu  bus di halte Dukuh.

May I speak with Nani please?” akhirnya kedengaran juga suara itu

Saya mengerutkan kening. “yes, Nani’s speaking.”

We are…… from… do you have…”

Waduh suaranya hilang dan muncul. Benar-benar nggak tepat nih orang nelpon, pikir saya.

“Sorry, I can not hear you.. ” kata saya setengah berteriak

Do you have skype account? skype account?”

He? Terakhir saya memakai sykpe saat dulu masih di Aceh, dan itu juga dibuatkan teman saya. katanya dengan skype kita bisa berkomunikasi gratis dengan mengunakan fasilitas internet. Ada yang gratis, tapi kalau mau beli kredit skype juga bisa dengan fasilitas yang lebih oke lagi.

Saya langsung menafsir-nafsir. Ini orang pasti mau nanya-nanya sesuatu, makanya dia bertanya apa saya punya skype account segala.

“Sorry I had stopped using skype since a long time ago… but I use G-Talk,” kata saya.

Lawan bicara saya bicara… Oh my God, ekke jelas tidak tahu dia bicara apa.

“Pardon me please, I cant hear you..” kata saya…*kaciannn dehhh saya

We need your skype account. Can you set up skype account?”

Waduh saya mengeluh. Dalam hati tentunya.

Can you…set up a skype account and give us tommorow morning?”

Nah loh saya benar-benar bingung. Kalau bikin skype account sih no problem. Tapi mau dikasih kemana itu account, sementara saya tidak tahu sama siapa saya bicara saat ini. 🙂

“Okay.. I will set up a skype account,” kata saya. ragu-ragu tentu saja.

Please..use your own name. Nani Afrida… We need to get your skype account soon,”  suara lelaki itu mulai terdengar jelas.

“Okay..” saya membeo

The interview will be held on 25 October. at 6 A.M Indonesia time… costa rica.. Philipine

Mendengar kata Costa Rica, barulah saya mengerti.. Rupanya itu telpon dari University for Peace. Astaga, rupanya wawancaranya pakai skype.. sementara saya tidak pernah punya pikiran menggunakan skype untuk hal yang satu ini.

Please.. set up a skype account. I’ll… tomorrow morning,” suara diseberang mulai putus-putus..

“Okay sir..thank you..” kata saya tanpa punya pikiran untuk bertanya macem-macem..

Hubungan terputus. Saya terdiam. Galau.

Malam itu saya mulai mencari-cari tahu cara pengunaan skype. Google dan teman-teman saya menjadi tempat saya bertanya. Dari mereka saya mendapat kesimpulan kalau Skype itu gampang kok. Tinggal buka www. Skype.com,   sign-up, download trus pilih yang gratis dan jadi dehh..

Bangga juga saya berhasil memiliki account skype baru. Berikutnya saya harus ngetes  audio dan speakernya. Masalah baru muncul. Saya bisa mendengar tetapi tidak bisa didengar. Well, saya butuh multi-media headset.

Besoknya saya dan suami keliling-keliling di kawasan Universitas Gunadarma Pondok Cina Margonda untuk mencari headset. Siapa sangka banyak toko yang kehabisan headset yang saya cari. Saya tersadar kalau saya saja yang masih kampungan karena tidak pernah memakai skype selama ini, sementara untuk orang lain skype mungkin sudah sangat happening.. Fool you Nanee..

Setelah muter-muter hingga sore, saya dan suami berhasil mendapatkan headset yang dimaksud. Setelah mengalami berbagai cobaan (maklum sudah berumur dan gaptek pula) akhirnya headset saya bisa singkron sama skype saya. Hihihi…

Siapa sangka ada untungnya juga beli headset multimedia itu. Sekarang saya bisa denger musik dan youtube dengan suara yang lebih ngebas dan keren… 🙂

Akhirnya… mau tidak mau, kita memang harus menyesuaikan diri dengn teknologi. Kalau tidak kepepet mungkin saya masih berpikir ala konvensional…

Asma

Menurut saya asma itu penyakit orang hebat. Terbukti salah satu idola saya Che Guevara ternyata menderita asma.. 🙂 . Kadang orang menganggap sakit asma itu penyakit yang cemen alias tidak perlu ditanggapi serius, tapi buat saya penyakit ini lumayan meresahkan. Apalagi kalau musim flu menyerang.

Kalau dipikir-pikir…saya sudah berteman dengan yang namanya penyakit asma sejak kelas 1 SD. Kumat pertama saat saya sedang mengunjungi keluarga sepupu ibu di Medan sebelum kembali ke Jakarta. Yang saya ingat, tiba-tiba saya susah bernafas dan semuanya gelap. Saya baru sadar ketika di klinik dekat rumah sepupu ibu.

Siapa sangka paska kejadian di medan itu saya tidak pernah bermasalah dengan asma. Saya pikir saya sudah sembuh total, tapi saya keliru. Mendadak penyakit itu datang lagi di tahun 1997 kali ini lebih dasyat. Saya tidak bisa tidur kalau bantal tidak tumpuk tiga, dan berteman dengan obat-obatan dari dokter yang jumlahnya segambreng.

Saya sempat cuti setahun dari kampus gara-gara asma. Berharap bisa berobat tuntas. Tidak pernah saya terpikir kalau asma tidak pernah bisa sembuh, yang harus dilakukan adalah mengendalikan penyebab asma.. 😦 

Salah satu tempat berobat saya adalah dokter –mungkin dia professor– di kawasan Medan. Kabarnya dia sangat mumpuni di bidang menangani alergi dan asma. Setelah cek darah, air seni dll dst dsb, akhirnya dokter itu menyatakan kalau saya penderita alergi berat. Kalau istilahnya normal alergi itu diangka 100, maka saya diatas angka 500..

Sekarang dokter itu akan memutuskan alergi apa saja saya. Lengan saya bagian bwah ditusuk-tusuk dengan jarum arah memanjang kemudian di atas belasan bekas tusukan jarum tadi dokter meneteskan macam-macam jenis cairan yang diambil dari botol-botol kecil. Kalau bekas tusukan jarum itu membengkak, tandanya saya alergi  pada cairan itu. Hasilnya? saya alergi susu, coklat, kacang, bulu binatang, makanan berminyak, keju, serbuk bunga, mentega, dll dst dsb…–sepertinya saya alergi semua makanan dehh–

Dokter kemudian memberikan inhaler, sebagai usaha preventif saya kalau penyakit “keren” ini menyerang..Mungkin dokter itu tahu saya bukan tipe orang yang mau berpantang makanan. Coklat adalah makanan favorit saya dan kucing dulu pernah jadi binatang kesayangan saya.

Sejak saat itu saya pun deal dengan penyakit asma. Kemana-mana saya membawa inhaler dan juga obat alergi kalau inhaler itu tidak mempan. Semakin lama berteman dengan asma itu, saya semakin mengerti kapan asma itu akan menyerang. Paling sering sih kalau  flu dan batuk, atau  kalau stres dengan pekerjaan kantor.

Nah, berhubung saat ini saya sepertinya akan flu berat, mungkin ada baiknya saya bersiap-siap.. 🙂

60 menit bersama mantan FBI

Jadwal wawancara sudah diset pukul 7 P.M hari Rabu tanggal 10 Oktober 2012

Lokasi wawancara: Grand Hyatt Hotel –dekat bundaran HI (selalu saja saya suka lupa lokasi hotel-hotel di Jakarta. Yang paling teringat justru Hotel Borobudur simply because the food is delicious…)

Bahan untuk background wawancara sudah diberikan sehari sebelumnya oleh bos Rendi, tujuh files. Total  17 halaman (dicopi ke halaman word)

Yang akan diwawancara bernama Ali Soufan, mantan agen FBI,berkewarganegaraan Amerika, asal Libanon, pengarang buku Black Banner yang cukup kontroversial, dan yang pasti pria ini katanya anti sama kekerasan untuk interogasi teroris.

Celakanya, jadwal wawancara bapak ini bertabrakan dengan deadline reportage. Jadi konsentrasi saya pecah, antara persiapan wawancara dan mengecek printil-printil fakta di tulisan satu halaman koran itu.. 😦

Akhirnya pukul 6 lewat 15 menit kami berangkat. Kami? ya, selain saya juga ada ibu editor senior Ati Nurbaiti dan bapak editor opini Pak Imanuddin. Kami naik taksi menuju Grand Hyatt..

Jakarta yang super macet (bukan hal baru lagi) membuat kami tiba di Grand Hyatt jam 7.30 (oh nooooo)

Beruntung ibu sekertaris pak Ali ternyata orangnya baik banget. Dia bersedia menunggu.

Kami wawancara di Fountain lounge, ditemani kacang goreng, teh, dan soda lemon

#Fakta tentang Ali Soufan: COOL, SMART dan ganteng hihihi…

credit photo: bloomberg/google

Dia pakai cincin kawin di jari kirinya..

Orangnya asyik dan sepertinya dia tahu banyak soal al Qaeda..

Sepanjang wawancara kami bertanya banyak hal dari soal bukunya, kenapa dia anti sama torturing methods dan lain-lain.

sepanjang wawancara, suara biduan di lounge itu membuat saya dan para senior editor itu terpaksa harus ekstra keras untuk bisa mengerti apa saja yang dikatakan pak Ali.

Sepanjang wawancara saya melihat kok tampang mantan FBI ini beda banget sama film-film FBI yang biasa saya tonton?

Dan sepanjang wawancara saya berharap rekaman saya bisa befungsi dengan baik…

Akhirnya setelah sejam, kami pamitan.. Banyak hal yang bisa kami dapatkan, terutama fakta yang menyatakan kalau tanpa penyiksaan pun, pihak berwajib bisa mendapatkan data yang mereka inginkan…