Surviving in Barangka

Sudah 10 hari saya tinggal di Manila, Philipina dalam rangka menuntut ilmu. Saya masih ingat lambaian suami saya emilio saat saya menyeret koper kuning kesayangan saya menghilang di balik pintu keberangkatan. Sumpah saya sedih sekali. Ini pertama kali saya meninggalkan Emilio untuk waktu yang lumayan lama. Dulu pernah sih meninggalkan Emilio saat ke Berlin selama dua bulan, tetapi keberangkatan saya ke Manila akan lebih lama.

Saya memang sengaja tidak mengajak keluarga. Alasannya saya akan berpindah-pindah. Bulan Agustus mendatang saya akan berangkat ke Costa Rica, dan bulan Juni 2014 saya akan kembali lagi ke Manila. Bolak balik kaya gosokan… Program ini memang melelahkan, dan saya percaya yang lelah begini pasti akan ada hasilnya.

Koper saya seberat 19.7 kilo dari 20 kilo yang diharapkan. Ya, saya memang tidak membawa bahan makanan. Saya optimis, di Manila nanti saya akan menemukan makanan yang layak. Stok yang paling penting pakaian dan Emilio sendiri yang mengepak pakaian saya… (kembali mewek…)

Dengan menumpang Philipine Airlines, saya tiba di Bandara Ninoy Aquino pukul 6 malam (Philipina Cuma satu jam lebih cepat dari Indonesia) setelah lima jam perjalanan dalam turbulence yang bikin saya deg-deg plas. Saya  menumpang taxi bandara bermerek Nissan untuk ke penginapan sementara yang disewakan pihak university for peace (upeace). Untuk itu saya harus membayar 700 peso (atau sekitar 140 ribuan)

Penginapan itu lokasinya di Barangka, Marikina City. Saya benar-benar tidak punya ide bagaimana kawasannya karena saat itu sudah gelap. Yang pasti saya diturunkan di kawasan padat penduduk dengan banyak anjing berkeliaran dan pria-pria bertato yang sedang nongkrong… nahloh.

Tempat saya menginap adalah BCC or Barangka Credit Corporative. BCC menyediakan mess, homestay, conference room, clinic dan koperasi simpan pinjam. Modelnya hampir sama dengan hotel kelas melati di Jakarta. Semalam saya harus membayar 800 peso (sekitar 160 ribu rupiah) tanpa fasilitas air minum dan sarapan.

Yang lebih menyedihkan lagi, kamar ternyata jauh dari bersih. Kamar mandinya malah sudah bulanan tidak disikat. Belum lagi kamar itu lokasinya di kawasan padat penduduk yang pengap, dengan kabel listrik bergelantungan dan suara ribut orang-orang yang lalu lalang.

Saya sempat syok. Tapi saya menelan kekagetan saya. Saya benar-benar tidak percaya harus hidup di kawasan seperti ini. Belum lagi saya harus hidup disana sampai Agustus mendatang. Bukan apa-apa, sebelumnya saya sudah terteror dengan nasehat orang banyak untuk hati-hati selalu. Mereka bilang Philipina itu bukan negara aman. Apalagi dengan orang berprofesi wartawan seperti saya, muslim pula.

Ketakutan saya ternyata tidak terbukti. Meskipun kawasannya parah, orang yang tinggal di  Barangka itu ternyata ramah dan sopan –mungkin karena saya berkerudung–. Seorang bapak tua malah bersedia mengantar saya sekedar menunjukkan jalan tembus ke Universitas Ateneo de Manila University.  Pengemudi tricycle di Ateneo malah bersedia mengantar saya keliling-keliling Ateneo sekedar menunjukkan gedung yang saya butuhkan hanya dengan bayaran 18 peso. Saya mendadak lega.

Setelah tiga hari tinggal di BCC saya akhirnya menemukan kamar kos yang lebih layak yang gedungnya masih –lagi-lagi– di kawasan Barangka itu. Kamar itu hasil rekomendasi teman-teman saya satu program. Yang punya kos orang campuran Philipina-Jepang yang selalu ingin dipanggil Papa-san dan Mama-san. Saya mendapat kamar mungil yang masih baru dibangun dengan kamar mandi sendiri dan AC seharga 7500 peso sebulan. Kemewahan lainnya yaitu wifi dan air gratis (listrik tetap harus bayar) . Saya tinggal disana bersama dengan Puri (indonesia), Ai dan Hiro (Jepang) dan Hasha (Sri Langka).

Kini bolak balik di kawasan Barangka menuju kampus bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi saya. Saya mendadak mulai nyaman tinggal disana. Bahkan sekarang orang-orang bertato di sana mulai tersenyum ramah kalau melihat saya lewat. Kondisi jadi lebih friendly buat saya. Maklum, sebelumnya saya sempat was-was menjadi warga super minoritas karena belum pernah melihat ada perempuan berjilbab di daerah itu..