36 JAM di JAKARTA (Part II)

Haloo… kita sambung lagi ya cerita soal Miki chan yang berkunjung selama 36 jam ke Jakarta dan saya yang jadi guide dadakannya…

Sampai mana ya tadi? Oh ya sampai Miki dan Pheny diomelin polantas hehehe… Tapi petualangan Miki belum habis loh…

 Dari Nasi Goreng sampai Jamu gendong

Makanan apa sih yang nggak ada di Jakarta? Nah, ini daftar makanan yang dimakan Miki selama berada di Jakarta:

  • Bubur Ayam.

Karena kami tiba di bandara Soeta dini hari, paginya saya, Miki dan Emilio sarapan bubur ayam gerobak hehehe… Tukang buburnya kebetulan langganan saya. Rasanya sih lumayan, ada sate jeroan en harganya pun murah. Miki langsung semangat potret sana sini.

  • Nasi Goreng Gerobak

Miki melihat langsung bagaimana Nasi Goreng Indonesia itu dibuat. Aroma bumbu nasi goreng itu tak pelak membuat Miki tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk makan. Belum lagi gaya sang abang nasgor yang membolak balik nasi di wajan. Miki langsung jepret sana sini dengan kamera Olympus canggihnya.. klik… klik…

  • Tahu goreng dan tahu isi

Secara tahu termasuk bahan makanan penting untuk orang Jepang, nah Miki bisa mencicipi tahu dengan resep yang berbeda. Dia terkesan dengan rasa tahu yang gurih, dan harganya yang super murah.

  • Gado-gado betawi dengan Es Kelapa Muda gula merah

Dia menyebut makanan ini dengan istilah Indonesian salad with peanut sauce. Saya promosi “Ini favorite teman kita Puri, anak APS indonesia, yang vegetarian,”.

  • Ayam penyet

Haha… ini makanan yang bikin dia kepedesan dan dia kembali terkesan dengan Indonesia yang tidak bisa hidup tanpa cabe. Begitu saya bilang kalau cabe bisa bikin inflasi, dia geleng-geleng kepala.

miki, padang

Credit Photo: Miki Yoshida

  • Nasi Padang

Ini mah makanan yang paling penting dinikmati si Miki dan saya menikmati bagaimana dia makan nasi padang berlaukkan gulai ayam dan sambel ijo hehehe.. makannya pake tangan pula…

  • Jamu gendong

Nah, kali ini saya memaksa Miki mencoba Jamu kunyit asem… kayaknya dia kebingungan mendefiniskan rasanya hehehe…

  • Es Cincau

“What is this? It looks dangerous,” itu komen Miki pas saya memesankan dia es cincau. Hahahaha… belum tahu dia.

  • Bubur Kacang Ijo

Saya mengajak dia makan burjo di warung indomi. Sayangnya tidak ada kacang item.

Visiting Monas for Doraemon

 Kami tiba di Monas dengan mengunakan Bajay. Sayangnya Miki tidak bisa naik ke puncak monas karena waktu berkunjung sudah habis. Terpaksa kami keliling-keliling dan melihat pemandangan.

Waktu itu monas agak-agak gimanaaa gitu. Banyak sekali pengunjung yang terkesan menakutkan. Emilio yang bersama saya langsung pasang muka waspada.

Ketika kami mendekati kaki Monas, mendadak Miki histeris. “Look… Doraemon…” katanya.

Saya dan Emilio langsung menoleh. Tak jauh dari kami ada badut yang menggunakan kostum Doraemon. Badut itu bersedia difoto dengan anak-anak asal diberi imbalan.

“Look, it’s Spongebob and teletubbies,” kata Miki.

Weleh.. saya Cuma tersenyum kecut berharap Miki tidak nekad minta berfoto dengan Doraemon.

Mulai dari Kereta Commuter sampai dengan Bajay

Selama 36 jam berada di Jakarta, Miki berhasil mencoba hampir semua moda transportasi di Jakarta. Tidak percaya? Berikut listnya:

  • Naik motor diboncengi Pheny. (Jagakarsa- Taman Mini PP)
  • Naik kereta komuter jabodetabek (St Lenteng Agung- St Karet)
  • Naik angkot (Jagakarsa-Lenteng Agung)
  • Bajay Orange ( Tamrin City- Monas)
  • Bajay Biru (Jalan Sabang- St Gambir)
  • Taksi (Airport-Jagakarsa)
  • Bus Damri (Gambir- Airport)

Belanja

Saya menemani Miki belanja Batik di Thamrin City. Dia beli batik dan kembali komen kalau harganya sangat murah (duileee). Setelah itu wisata belanja kami berakhir di hypermart untuk belanja oleh-oleh untuk dibawa ke Manila.

Miki memborong bumbu Nasi Goreng, kopi dan aneka cemilan.

Emilio dengan iseng menyuruh Miki membeli bumbu racik sayur asem. Tanpa ragu dia memborong beberapa bungkus. Hahaha.. dasar Emilio..

Semua barang dimasukkan ke dalam tas. Dan Emilio sempat salut karena semuanya bisa masuk ke dalam tas Miki.

“Tasnya seperti Doraemon ya.. muat semua” kata Emilio.

–00–

Setelah berbelanja dan main-main di Jakarta selama 36 jam, tiba saatnya kami harus berangkat kembali ke airport untuk terbang ke Manila.

Miki kelihatan puas.

Emilio kelihatannya capai

Sementara saya puas karena bisa menyenangkan Miki berwisata di Jakarta meskipun Cuma 36 jam saja…

THE END

36 JAM DI JAKARTA (Part I)

(Pengalaman menjadi guide sahabat Jepang saya mengunjungi Jakarta selama 36 jam)

Entah karena berbakat untuk berpromosi atau memang sedang kangen kampung halaman, saya selalu membanggakan Jakarta di depan teman-teman saya, penerima Asia Peacebuilder scholarship (APS) Batch 7 tahun 2013-2014.

Setiap menikmati makanan atau nongkrong bersama mereka, saya selalu membanding-bandingkan Philippines dan Costa Rica dengan Indonesia.

“Di Indonesia makanannya lebih enak”,  atau “ Ini mah di Jakarta juga ada,” atau “Kereta commuter di Jakarta lebih sering penuhnya daripada kosong,”  atau “Rendangnya kurang pedas, enakan di Jakarta,”

Makin sering saya menyebut kata “Jakarta”, semakin home sick saya.  Ya Tuhan, saya kangen sate ayam, bakso, gado-gado, pecel lele. Saya kangen naik KRL commuter, berebutan naik busway, atau naik ojek dan bajay. Damn…

Siapa sangka yang akhirnya penasaran dengan Jakarta adalah sobat Jepang saya, Miki Yoshida. Maklum kami selalu bersama dan dia jadi guru origami saya yang sangat sabar. Dan ketika saya memutuskan untuk kembali ke Jakarta selama 36 jam dalam rangka menjemput suami saya Emilio,  Miki berminat ikut. Nahloh.

Semula saya pikir dia bercanda. Eh tidak tahunya dia serius. Pada suatu malam, di bulan September 2014, pukul 22.00 waktu Manila, Miki mengirimkan CC email dari Cebu Airlines, mengonfirmasi kalau DIA AKAN IKUT KE JAKARTA.

Mulailah saya panik. Masalahnya Jakarta itu kan macet luar biasa. Bisa-bisa Miki tidak bisa kemana-mana. Trus apa yang akan dilakukannya selama 36 jam di Jakarta? Sementara saya sendiri biasanya malas kemana-mana, kecuali ke tukang soto betawi Pak Kumis yang tak jauh dari rumah.

Miki sendiri (seperti biasa) sudah sibuk searching di google dan Lonely Planet. Dia langsung bilang terus terang kalau salah satu tujuan dia adalah Monas. Alasannya: Monas itu lambang Jakarta dan dia mendengar ada Doraemon di Monas. Permintaannya membuat saya melongo.  Monas? Doraemon? Ngapain Doraemon di Monas?

Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Pheny, sahabat saya wartawan Koran ekonomi Kontan.  Pheny jadi andalan saya untuk memboncengi Miki secara kawasan di Jakarta lebih gampang dijangkau dengan mengunakan motor.

Pheny memang luar biasa. Dia setuju  mau memboncengi Miki. Meskipun sempat kecewa karena berharap sobat Jepang saya seorang laki-laki yang tampangnya keren mirip aktor Korea hehehehe…

Siapa sangka 36 jam ternyata cukup lumayan untuk eksplor Jakarta. Tidak percaya? Di tulisan ini akan saya beberkan (duileee) kemana-mana saja Miki jalan-jalan dan pengalaman apa saja yang dia alami.. hehehe…

CHECK THIS OUT

miki1

KI-KA (Pheny, Miki, Nanee dan Emilio)

  1. Soekarno Hatta airport

Begitu sampai di Soeta Airport, Miki sempat komplen karena harus bayar biaya visa on arrival. Dia keberatan mengeluarkan uang (saya lupa jumlahnya) hanya untuk 36 jam saja di Jakarta.  Trus dia heran kok orang Jepang harus membayar VoA, sementara di Philippines dan Negara Asia lain serba gratis.  Saya langsung meledek dia. “You should pay more, I think. Especially regarding to the history between Japanese and Indonesia.” hehehehe… Dia langsung cengengesan…

Miki mengagumi arsitektur airport yang serba etnik dan bilang airportnya bagus. Belakangan dia gantian meledek saya, karena ketika kami akan kembali ke Manila, kami harus duduk di lantai menunggu pesawat, secara kursi untuk menunggu tidak cukup.

‘The airport operator should buy new chairs and never let me sit on the floor. I’ve paid VoA already,” katanya nyebelin.

Saya gantian cengengesan.

Bukan itu saja, ketika kami tiba di Manila, dia langsung cerita pada semua teman-teman APS untuk membawa kursi lipat kalo mau ke Jakarta. “The airport doesn’t have enough chair,” katanya.

Waduh… saya langsung malu sama promosinya yang sesat itu.

  1. Money Changer

Saya membawa Miki untuk menukar uang di money changer terdekat yaitu di Depok Square alias Detos. Dia menukar 200 dolar dan mendapatkan uang sebanyak Rp 2,400.000.

‘Wow, I became a millionaire in your country,” katanya sambil menghitung lembaran 100 ribuan rupiah. terkagum-kagum.

Saya tersenyum kecut. Mata uang Rupiah memang sedang rendah-rendahnya, dan celakanya orang-orang seperti Miki merasa kaya di Indonesia, sementara orang-orang Indonesia masih kesulitan mencari uang untuk membeli sekilo beras yang harganya Rp 10,000…

Bisa diduga, Miki hanya membelanjakan kurang dari 100 dolar di Indonesia selama 36 jam mengunjungi Indonesia.  Dia bahkan tidak berminat menghitung berapa rupiah lagi uang yang tersisa.

‘Too many zeros, so confusing,” katanya sambil mengambil semua uang rupiah dan memasukkannya ke dompet.

  1. Taman Mini Indonesia Indah

Ketika Miki memutuskan mengunjungi Indonesia, yang pertama terlintas di kepala saya adalah membawanya ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Untung Pheny bersedia mengantar karena dia belum pernah kesana. Sementara saya pernah mengunjungi TMII saat saya masih TK alias puluhan tahun yang lalu.

“Dengan mengunjungi Taman Mini, kamu berarti sudah keliling Indonesia. Biaya masuknya murah. Coba kamu bayangkan berapa kamu harus mengeluarkan uang kalau mau keliling Indonesia,” kata saya berpromosi.

Kami memakai jaket, penutup mulut dan helm saat akan naik motor ke Taman Mini. Miki sepertinya hepi naik motor mengarungi kemacetan Jakarta. Saya rasa dia mendapatkan pengalaman menarik, secara Pheny kalau menbawa motor suka ngebut hehehe…

Di Taman Mini, kami mengunjungi rumah adat seluruh sumatera dan jawa dan bali. Selanjutnya hanya melintas di rumah-rumah adat provinsi Kalimantan dan Sulawesi. Ternyata yang berlibur bukan hanya Miki. Saya, Pheny dan Emilio juga hepi karena kalau bukan karena Miki kami tidak akan pernah punya pikiran menginjakkan kaki ke Taman Mini hehehe…

Terkena Razia Polantas

Pulang dari Taman Mini, motor yang dikendarai Pheny dan Miki terkena razia polantas.  Pheny langsung mengeluarkan SIM dan STNK-nya sementara Miki malah sibuk mengambil gambar. Segera saja, polisi yang merazia langsung marah-marah ke Miki yang tidak mengerti bahasa Indonesia.

Untungnya Miki bersama Pheny yang sejak dulu bertemperamental dan beraninya minta ampun. Entah gimana ceritanya keduanya lepas dari razia.  Miki dengan antusias bercerita kalau mereka diomelin polisi gara-gara dia memotret.

“Padahal saya Cuma memotret rumah di sekitar situ loh, bukan polisinya,” kata Miki sambil cengengesan.

(BERSAMBUNG)

Ramadhan mengenaskan di tahun 2013

Sejak jadi mahasiswa di negara orang, saya baru menyadari kalau paling enak itu di negara sendiri. Saya suka salut sama orang-orang Indonesia yang mengaku lebih betah di negara orang. Serius.

Apalagi kalau bulan ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, paling enak ya bersama keluarga di negara kita yang keren ini meskipun korupsinya sedang ngetren.

Saat bulan Ramadhan, kebetulan posisi saya di Philipina. Selama Ramadhan di bulan July 2013 yang panasnya ajubile itu, saya dan teman-teman APS kudu kuliah di Ateneo dari pagi jam 9 hingga jam 9 malam. Buka puasa? Ya di dalam kelas dong. Kata yang paling tepat untuk ramadhan saat itu adalah mengenaskan hehehehe…

Kebetulan saya barengan dengan Puri, mahasiswa Indonesia yang juga giat puasa. Kami sahur bersama dengan dua menu yang selalu sama dan konsisten: capcay (belinya di warung makan dekat kos sepulang kuliah), telur tim, dan nasi panas. Minumnya milk tea hangat.

Menu yang sama itu bukan karena kami malas masak atau tidak bisa masak, bukan sodara-sodara, tapi karena flat kami tidak dilengkapi dapur. Dengan bermodalkan rice cooker kami kudu kreatif, dan hasilnya (juga berkat masukan dari suami saya Emilio) jadilah telur tim itu J lumayanlah, tidak terlalu mengecewakan

Biasanya Puri datang ke kamar untuk sahur bareng. Kami akan  bubar setelah imsak. Balik ke kamar sempit kami masing-masing.

Meskipun puasa, kami tetap beraktifitas seperti yang lain, kuliah pagi, siang dan sore.

Sebelum masuk kelas untuk kuliah sore, saya dan Puri biasanya membekali diri dengan hamburger yang dijual di Ateneo. Ini menu buka puasa yang juga konsisten alias jarang berubah hehehehe. Puri akan memesan hamburger yang vegetarian dengan terong, sementara saya sudah pasti yang isinya daging ayam.

Kuliah sore dimulai jam 5 dengan mata kuliah selang seling setiap hari; comparative politics dan International relations. Ketika duduk di kelas untuk kuliah sore kayaknya tenaga kami sudah habis. Melek aja sudah tidak sanggup apalagi mendengarkan system pemerintahan Amerika atau soal non state actors.

Saat menjelang buka puasa tiba, biasanya saya dan Puri suka lirik-lirikan dan member isyarat. Kemudian kami membuka bekal masing-masing dan makan di depan dosen yang sedang menjelaskan  soal perang nuklir dengan semangat berkobar-kobar J

Salah satu visiting professor yang mengajarkan International relations berasal dari spanyol, dan dia sering sekali memergoki saya dan Puri makan. Pernah sekali dia mengomentari pendapat saya sebelumnya tepat pada saat saya mengunyah. Nyaris saya keselek. Untung si professor ganteng  yang masih jones (jomblo ngenes) itu bilang “its ok, its time for dinner,” katanya. Hihihi…

Mungkin si professor itu heran kok kami selalu makan dengan kompak di jam yang sama.  Saya yakin 100 persen dia pasti tidak tahu kalau ini lagi bulan puasa. Tapi di hati saya yang paling dalam kayaknya makan di depan professor benar-benar tidak sopan, apalagi tidak menawarkan makanan… 😀

Yang membuat saya sedikit terharu, beberapa teman APS yang sebelumnya keheranan karena kami puasa ternyata berminat ikutan. Sebelumnya mereka berpikir kalau tidak makan dan minum itu pasti endingnya sakit, dehidrasi atau mati. Belakangan ketika mereka melihat saya dan Puri fine-fine saja, mereka ingin mencoba ikut serta.

Satu anak Jepang yaitu Yasutaka malah mencoba langsung tiga hari, sementara anak Vietnam dan Myanmar masing-masing mencoba satu hari. Endingnya si Yasutaka mengaku kalau “hari pertama sih lemes, tapi setelah itu saya kayaknya terbiasa,” katanya.

Sementara anak Vietnam dan Myanmar kayaknya pada kapok hehehe….

Yang pasti kami merayakan hari Idul Fitri dengan sendu. Kami terpaksa tidak shalat Ied karena tidak tahu dimana lokasi mesjid terdekat. Selama ini saya melakukan shalat terawih juga sendirian sepulang kampus.

Yang lebih sendu lagi, kami ujian comparative politics dengan presentasi di depan kelas. Dan kelas berakhir di restoran pizza perpisahan dengan para professor. Nah Loh…

Meskipun hari Idul Fitri berlalu tanpa kesan dan cenderung mengenaskan, saya merasa kehadiran teman-teman dari enam negara lumayan menghibur. Saya merasa masih beruntung dibanding muslim lain yang mungkin saat ini sedang dalam kondisi perang, bencana alam, atau kesulitan ekonomi. Dibandingkan mereka, yang saya hadapi bukan apa-apa.

Sesaat saya lupa kalau saya jauh dari keluarga…

Seven interesting facts on Philipines

Tinggal di Philipina ternyata sama menantangnya seperti tinggal di Indonesia. Teman saya si Puri pernah bilang kalau “bisa survive di Jakarta, berarti bisa survive di Manila”.

Berbeda dengan kedua teman indonesia saya Puri dan Ni Putu yang hobinya jalan-jalan selama tinggal di Philipina, saya termasuk yang paling jarang keluar kecuali kuliah. Tidak heran pengetahuan saya soal Manila agak ketinggalan. Teman saya asal Philipina sempat keki ketika saya bilang “Barangka is Philipines and Philipines is Barangka”. Dia mencoba menerangkan kalau Barangka, tempat saya tinggal sekarang hanya seujung kukunya Philipina sebenarnya.

Eniwey, meskipun saya agak kuper, saya tetap bisa sharing beberapa hal yang menarik soal kota ini. Tentu saja dengan kacamata saya sendiri.

  1. Supir taksi di Manila hobinya ngebut

Kalau terbiasa dengan supir sopan santun blue bird di Jakarta, maka siap-siap syok dengan supir taksi di Manila. Mereka tipe Ali Topan anak jalanan karena sukanya ngebut dan zig zag tanpa peduli penumpangnya pada sport jantung. Kali pertama naik taksi saya sibuk komat kamit di jok belakang berdoa semoga Tuhan menyelamatkan saya. Saya tidak siap kalau harus mati karena kecelakaan karena saya ke Manila untuk belajar…Kelakuan saya langsung menjadi bahan tertawaan dua sobat Indonesia saya Putu dan Puri.

2. Kantong kertas penganti kantong plastik

Saya tinggal di kawasan Marikina yang hobinya banjir. Berdasarkan data yang saya kumpulkan dari bapak kos dan juga beberapa orang lainnya, Marikina mulai memberlakukan pengunaan kantong kertas sebagai tindakan preventif pengurangan plastik yang sering menyumbat drainase dan akhirnya bikin banjir.

Nah, pertama saya belanja, saya terheran-heran ketika semua belanjaan saya dimasukkan ke kantong kertas. Saya pikir keren juga nih kota. Celakanya belanjaan saya pernah jebol karena airnya merembes dari kantong kertas itu. Untung saat itu saya sudah sampai di flat huhuhu

3. No cabai merah

Hingga saya sudah hampir 45 hari disini, saya tidak pernah melihat orang berjualan cabai merah. Yang ada cabai rawit merah dan cabai hijau. Mungkin ada cabai merah disuatu tempat, tapi karena flat saya tidak ada dapur, maka saya tidak pernah punya keinginan untuk hunting cabai merah sekedar bikin ikan lado.

4. Babi lebih murah

Semula saya pikir orang philipina fans berat daging babi karena setiap makanan suka menggunakan daging babi. Belakangan saya mengerti karena harga daging babi disini lebih murah dibanding ayam atau sapi.  Mau tidak mau saya harus membiasakan diri melihat daging babi disini dan harus berlatih tidak mual mencium baunya. Saya juga harus membuang kebosanan untuk bertanya “is that pork?” or “Is that the chicken?” setiap kali saya membeli makanan.

5. Jeepney transportasi massal

Image source: google

Buat saya setiap naik jeepney itu keasyikan tersendiri. Bayangkan saja, setiap penumpang akan saling menolong menyodorkan ongkos ke supir atau saling menyampaikan tujuan mereka turun. Maklum kendaraan ini lumayan panjang dan butuh saling membantu untuk menjangkau sang supir (biasanya supir suka pakai baju can see dan badannya penuh tato) Ini kendaraan yang bersajaha dan juga sarat persaudaraan menurut saya. Selain itu warna dan gambarnya cukup kreatif. Kalau soal ngebut dan zig zag ya nggak jauh-jauh beda dibanding taksi

6. Surganya minuman keras

Untuk yang satu ini bukan kebahagiaan buat saya. Tapi semua internasional students setuju kalau minuman keras or miras di Philipina sangat sangat sangat murah dan gampang diakses. Teman saya pernah membeli sebotol teuqila misalnya dengan 1,000 pesoan atau 200 rebo rupiah saja. Itu juga dengan kualitas terbaik (kata dia ya). Selain itu mereka juga punya bir lokal yang (kata para menggemar) rasanya juga lumayan.

7. Susah mencari kopi serius

Ini masalah besar buat saya pecinta kopi. Setelah seumur hidup dimanjakan dengan kopi tradisional kualitas terbaik di Indonesia, mendadak saya harus berhadapan dengan kopi instan yang manisnya super dan khasiat kop[inya  cenderung bikin neg ketimbang membuat terjaga sehingga saya bisa meneruskan  paper saya.

Nah, sementara itu dulu beberapa hal yang menarik soal Philipina. Mungkin kalau saya sudah mulai keluar dari flat (tentu saja setelah semua tugas selesai), saya akan sharing lebih banyak lagi… hehehe

The story of rusty students

Hari ini genap lima minggu saya menuntut ilmu di Universitas Ateneo Manila Philipina. Kuliah di Ateneo ini merupakan babak pertama sebelum bulan Agustus (Insya Allah) 2013 saya belajar lebih dalam soal Media, Peace and Conflict Studies di University for Peace (UPEACE) Costa Rica.

Di Ateneo yang terkenal dengan maskot “Blue Eagle” itu saya akan belajar selama sepuluh minggu…

Sebagai mahasiswa yang cukup “karatan” kondisi ini sangatlah menantang. Maklum, sudah hampir 13 tahun saya lulus kuliah. Saya bahkan sudah lupa bagaimana duduk di kelas mendengarkan dosen atau membaca buku/tulisan akademik yang isinya lebih banyak teori dan terkadang bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

Eniwey, mahasiswa karatan model saya –terutama yang sering sinis dengan kajian ilmiah karena lebih cenderung fokus dengan kenyataan—memang harus berusaha lebih keras dibanding mahasiswa lain, terutama dalam  hal mengurangi kekeraskepalaan kami hehehe…:D

Selama empat minggu pertama, kuliah yang saya alami lebih pada pendalaman bahasa Inggris dalam hal speaking dan writing di pagi hari. Untuk sorenya kami mendapat content class soal demokrasi dan kenegaraan.

Sementara untuk enam minggu berikutnya, selain English class, saya akan mendapat dua mata kuliah penting; international relations dan comparative politics. Saat itulah kuliah akan dimulai dari pukul 9 pagi sampai 9 malam.

English class untuk speaking  mengajarkan cara bicara dan memberikan presentasi yang baik dan benar. Kami diberikan resep memberikan presentasi dan adu argumen di depan audience dengan materi yang cukup terstuktur, jadi nggak sekedar ngalor ngidul.

Sementara untuk kelas writing, kami diharuskan menulis research paper lengkap dengan bibliografi dan abstraksi yang berhubungan dan conflict studies. Untuk itu mau tidak mau kami harus membaca minimal 15 sumber bacaan, boleh buku, reseach paper orang lain atau makalah yang sesuai dengan research pilihan kami.

Bisa dibayangkan setengah mati kami pontang panting untuk tugas yang satu ini. Membaca 15 sumber bacaan ilmiah dalam satu minggu bukanlah segampang membaca novel… Dari semula pihak kampus sudah sangat tegas dengan yang namanya plagialism.. jadi jangan coba-coba nekad mencontek hasil karya orang…

Setelah disiksa paginya dengan English class, kami kemudian menghadapi English Content class di sore hari. Di kelas ini  kami dipaksa untuk terbiasa aktif di kelas dan berdebat secara intelektual –bukan ngalor ngidul–, maklum nanti di UPEACE Costa Rica kami akan berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa dari puluhan negara lain yang kabarnya sangat “agresip”.

Lagi-lagi content class juga hobi memberi tugas atau assigment. Lagi-lagi membaca suatu hal yang paling penting. Sebelum kelas masuk, kami sudah diberikan bahan bacaan yang ajigile terkadang hingga 70 halaman. Semua harus dibaca kalau tidak kami pasti terbengong-bengong di kelas.

Tidak heran baru beberapa hari saja, ada teman yang masuk kelas dengan mata merah alias kurang tidur. Semua mengeluh karena kecapean. Bisa dimaklumi, kebanyakan scholars adalah profesionals yang sudah lumayan lama tidak pernah berurusan dengan research paper atau buku ilmiah. Konon pula saya yang sudah 13 tahun lulus kuliah.

Kondisi diperburuk dengan internet yang tidak bisa diandalkan di flat. Akibatnya pelajaran sering terganggu karena tidak bisa mengunakan akses internet.

Tidur kurang dari 5 jam menjadi keseharian kami. Kopi jadi sahabat sejati. Depresi selalu membayangi. Hiburan satu-satunya adalah nongkrong bareng saat istirahat dan “curhat” atau berkeluh kesah.

Yang paling seru saat sedang mengerjakan writing assignment hingga tengah malam, international students yang tinggal di kawasan Barangka sering janjian ngopi untuk merenggangkan diri dari kepenatan. Setelah kopi habis, kami kembali ke kamar masing-masing dan kembali belajar.

Atau bila tidak terlalu malam, kami ramai-ramai sering mendatangi seven-eleven yang dibuka 24 jam. Kami akan belanja snacks atau ice cream murah meriah sekedar memanjakan diri. Kami menyebut itu midnight snacks.

Assignment yang bejibun itu kerap membuat saya jarang mengunakan media sosial seperti facebook atau twitter. Jangankan media sosial, untuk skype dengan emilio saja kayaknya susah mendapatkan waktu yang tepat.  Waktu yang tersisa sepertinya lebih bagus digunakan untuk tidur dan istirahat.

Yang pasti, saya merasa lepas dari marabahaya setelah assignment selesai dan terkirim ke email para teachers –tanpa saya harus cari printer seperti students yang lain hehehe–. Saya biasanya balas dendam dengan tidur cepat dan bangun lebih lambat dan santai.

Seperti beberapa hari ini, saya lumayan santai jadi bisa menulis blog ini.. 😉

Surviving in Barangka

Sudah 10 hari saya tinggal di Manila, Philipina dalam rangka menuntut ilmu. Saya masih ingat lambaian suami saya emilio saat saya menyeret koper kuning kesayangan saya menghilang di balik pintu keberangkatan. Sumpah saya sedih sekali. Ini pertama kali saya meninggalkan Emilio untuk waktu yang lumayan lama. Dulu pernah sih meninggalkan Emilio saat ke Berlin selama dua bulan, tetapi keberangkatan saya ke Manila akan lebih lama.

Saya memang sengaja tidak mengajak keluarga. Alasannya saya akan berpindah-pindah. Bulan Agustus mendatang saya akan berangkat ke Costa Rica, dan bulan Juni 2014 saya akan kembali lagi ke Manila. Bolak balik kaya gosokan… Program ini memang melelahkan, dan saya percaya yang lelah begini pasti akan ada hasilnya.

Koper saya seberat 19.7 kilo dari 20 kilo yang diharapkan. Ya, saya memang tidak membawa bahan makanan. Saya optimis, di Manila nanti saya akan menemukan makanan yang layak. Stok yang paling penting pakaian dan Emilio sendiri yang mengepak pakaian saya… (kembali mewek…)

Dengan menumpang Philipine Airlines, saya tiba di Bandara Ninoy Aquino pukul 6 malam (Philipina Cuma satu jam lebih cepat dari Indonesia) setelah lima jam perjalanan dalam turbulence yang bikin saya deg-deg plas. Saya  menumpang taxi bandara bermerek Nissan untuk ke penginapan sementara yang disewakan pihak university for peace (upeace). Untuk itu saya harus membayar 700 peso (atau sekitar 140 ribuan)

Penginapan itu lokasinya di Barangka, Marikina City. Saya benar-benar tidak punya ide bagaimana kawasannya karena saat itu sudah gelap. Yang pasti saya diturunkan di kawasan padat penduduk dengan banyak anjing berkeliaran dan pria-pria bertato yang sedang nongkrong… nahloh.

Tempat saya menginap adalah BCC or Barangka Credit Corporative. BCC menyediakan mess, homestay, conference room, clinic dan koperasi simpan pinjam. Modelnya hampir sama dengan hotel kelas melati di Jakarta. Semalam saya harus membayar 800 peso (sekitar 160 ribu rupiah) tanpa fasilitas air minum dan sarapan.

Yang lebih menyedihkan lagi, kamar ternyata jauh dari bersih. Kamar mandinya malah sudah bulanan tidak disikat. Belum lagi kamar itu lokasinya di kawasan padat penduduk yang pengap, dengan kabel listrik bergelantungan dan suara ribut orang-orang yang lalu lalang.

Saya sempat syok. Tapi saya menelan kekagetan saya. Saya benar-benar tidak percaya harus hidup di kawasan seperti ini. Belum lagi saya harus hidup disana sampai Agustus mendatang. Bukan apa-apa, sebelumnya saya sudah terteror dengan nasehat orang banyak untuk hati-hati selalu. Mereka bilang Philipina itu bukan negara aman. Apalagi dengan orang berprofesi wartawan seperti saya, muslim pula.

Ketakutan saya ternyata tidak terbukti. Meskipun kawasannya parah, orang yang tinggal di  Barangka itu ternyata ramah dan sopan –mungkin karena saya berkerudung–. Seorang bapak tua malah bersedia mengantar saya sekedar menunjukkan jalan tembus ke Universitas Ateneo de Manila University.  Pengemudi tricycle di Ateneo malah bersedia mengantar saya keliling-keliling Ateneo sekedar menunjukkan gedung yang saya butuhkan hanya dengan bayaran 18 peso. Saya mendadak lega.

Setelah tiga hari tinggal di BCC saya akhirnya menemukan kamar kos yang lebih layak yang gedungnya masih –lagi-lagi– di kawasan Barangka itu. Kamar itu hasil rekomendasi teman-teman saya satu program. Yang punya kos orang campuran Philipina-Jepang yang selalu ingin dipanggil Papa-san dan Mama-san. Saya mendapat kamar mungil yang masih baru dibangun dengan kamar mandi sendiri dan AC seharga 7500 peso sebulan. Kemewahan lainnya yaitu wifi dan air gratis (listrik tetap harus bayar) . Saya tinggal disana bersama dengan Puri (indonesia), Ai dan Hiro (Jepang) dan Hasha (Sri Langka).

Kini bolak balik di kawasan Barangka menuju kampus bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi saya. Saya mendadak mulai nyaman tinggal disana. Bahkan sekarang orang-orang bertato di sana mulai tersenyum ramah kalau melihat saya lewat. Kondisi jadi lebih friendly buat saya. Maklum, sebelumnya saya sempat was-was menjadi warga super minoritas karena belum pernah melihat ada perempuan berjilbab di daerah itu..