Seven interesting facts on Philipines

Tinggal di Philipina ternyata sama menantangnya seperti tinggal di Indonesia. Teman saya si Puri pernah bilang kalau “bisa survive di Jakarta, berarti bisa survive di Manila”.

Berbeda dengan kedua teman indonesia saya Puri dan Ni Putu yang hobinya jalan-jalan selama tinggal di Philipina, saya termasuk yang paling jarang keluar kecuali kuliah. Tidak heran pengetahuan saya soal Manila agak ketinggalan. Teman saya asal Philipina sempat keki ketika saya bilang “Barangka is Philipines and Philipines is Barangka”. Dia mencoba menerangkan kalau Barangka, tempat saya tinggal sekarang hanya seujung kukunya Philipina sebenarnya.

Eniwey, meskipun saya agak kuper, saya tetap bisa sharing beberapa hal yang menarik soal kota ini. Tentu saja dengan kacamata saya sendiri.

  1. Supir taksi di Manila hobinya ngebut

Kalau terbiasa dengan supir sopan santun blue bird di Jakarta, maka siap-siap syok dengan supir taksi di Manila. Mereka tipe Ali Topan anak jalanan karena sukanya ngebut dan zig zag tanpa peduli penumpangnya pada sport jantung. Kali pertama naik taksi saya sibuk komat kamit di jok belakang berdoa semoga Tuhan menyelamatkan saya. Saya tidak siap kalau harus mati karena kecelakaan karena saya ke Manila untuk belajar…Kelakuan saya langsung menjadi bahan tertawaan dua sobat Indonesia saya Putu dan Puri.

2. Kantong kertas penganti kantong plastik

Saya tinggal di kawasan Marikina yang hobinya banjir. Berdasarkan data yang saya kumpulkan dari bapak kos dan juga beberapa orang lainnya, Marikina mulai memberlakukan pengunaan kantong kertas sebagai tindakan preventif pengurangan plastik yang sering menyumbat drainase dan akhirnya bikin banjir.

Nah, pertama saya belanja, saya terheran-heran ketika semua belanjaan saya dimasukkan ke kantong kertas. Saya pikir keren juga nih kota. Celakanya belanjaan saya pernah jebol karena airnya merembes dari kantong kertas itu. Untung saat itu saya sudah sampai di flat huhuhu

3. No cabai merah

Hingga saya sudah hampir 45 hari disini, saya tidak pernah melihat orang berjualan cabai merah. Yang ada cabai rawit merah dan cabai hijau. Mungkin ada cabai merah disuatu tempat, tapi karena flat saya tidak ada dapur, maka saya tidak pernah punya keinginan untuk hunting cabai merah sekedar bikin ikan lado.

4. Babi lebih murah

Semula saya pikir orang philipina fans berat daging babi karena setiap makanan suka menggunakan daging babi. Belakangan saya mengerti karena harga daging babi disini lebih murah dibanding ayam atau sapi.  Mau tidak mau saya harus membiasakan diri melihat daging babi disini dan harus berlatih tidak mual mencium baunya. Saya juga harus membuang kebosanan untuk bertanya “is that pork?” or “Is that the chicken?” setiap kali saya membeli makanan.

5. Jeepney transportasi massal

Image source: google

Buat saya setiap naik jeepney itu keasyikan tersendiri. Bayangkan saja, setiap penumpang akan saling menolong menyodorkan ongkos ke supir atau saling menyampaikan tujuan mereka turun. Maklum kendaraan ini lumayan panjang dan butuh saling membantu untuk menjangkau sang supir (biasanya supir suka pakai baju can see dan badannya penuh tato) Ini kendaraan yang bersajaha dan juga sarat persaudaraan menurut saya. Selain itu warna dan gambarnya cukup kreatif. Kalau soal ngebut dan zig zag ya nggak jauh-jauh beda dibanding taksi

6. Surganya minuman keras

Untuk yang satu ini bukan kebahagiaan buat saya. Tapi semua internasional students setuju kalau minuman keras or miras di Philipina sangat sangat sangat murah dan gampang diakses. Teman saya pernah membeli sebotol teuqila misalnya dengan 1,000 pesoan atau 200 rebo rupiah saja. Itu juga dengan kualitas terbaik (kata dia ya). Selain itu mereka juga punya bir lokal yang (kata para menggemar) rasanya juga lumayan.

7. Susah mencari kopi serius

Ini masalah besar buat saya pecinta kopi. Setelah seumur hidup dimanjakan dengan kopi tradisional kualitas terbaik di Indonesia, mendadak saya harus berhadapan dengan kopi instan yang manisnya super dan khasiat kop[inya  cenderung bikin neg ketimbang membuat terjaga sehingga saya bisa meneruskan  paper saya.

Nah, sementara itu dulu beberapa hal yang menarik soal Philipina. Mungkin kalau saya sudah mulai keluar dari flat (tentu saja setelah semua tugas selesai), saya akan sharing lebih banyak lagi… hehehe

The story of rusty students

Hari ini genap lima minggu saya menuntut ilmu di Universitas Ateneo Manila Philipina. Kuliah di Ateneo ini merupakan babak pertama sebelum bulan Agustus (Insya Allah) 2013 saya belajar lebih dalam soal Media, Peace and Conflict Studies di University for Peace (UPEACE) Costa Rica.

Di Ateneo yang terkenal dengan maskot “Blue Eagle” itu saya akan belajar selama sepuluh minggu…

Sebagai mahasiswa yang cukup “karatan” kondisi ini sangatlah menantang. Maklum, sudah hampir 13 tahun saya lulus kuliah. Saya bahkan sudah lupa bagaimana duduk di kelas mendengarkan dosen atau membaca buku/tulisan akademik yang isinya lebih banyak teori dan terkadang bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

Eniwey, mahasiswa karatan model saya –terutama yang sering sinis dengan kajian ilmiah karena lebih cenderung fokus dengan kenyataan—memang harus berusaha lebih keras dibanding mahasiswa lain, terutama dalam  hal mengurangi kekeraskepalaan kami hehehe…:D

Selama empat minggu pertama, kuliah yang saya alami lebih pada pendalaman bahasa Inggris dalam hal speaking dan writing di pagi hari. Untuk sorenya kami mendapat content class soal demokrasi dan kenegaraan.

Sementara untuk enam minggu berikutnya, selain English class, saya akan mendapat dua mata kuliah penting; international relations dan comparative politics. Saat itulah kuliah akan dimulai dari pukul 9 pagi sampai 9 malam.

English class untuk speaking  mengajarkan cara bicara dan memberikan presentasi yang baik dan benar. Kami diberikan resep memberikan presentasi dan adu argumen di depan audience dengan materi yang cukup terstuktur, jadi nggak sekedar ngalor ngidul.

Sementara untuk kelas writing, kami diharuskan menulis research paper lengkap dengan bibliografi dan abstraksi yang berhubungan dan conflict studies. Untuk itu mau tidak mau kami harus membaca minimal 15 sumber bacaan, boleh buku, reseach paper orang lain atau makalah yang sesuai dengan research pilihan kami.

Bisa dibayangkan setengah mati kami pontang panting untuk tugas yang satu ini. Membaca 15 sumber bacaan ilmiah dalam satu minggu bukanlah segampang membaca novel… Dari semula pihak kampus sudah sangat tegas dengan yang namanya plagialism.. jadi jangan coba-coba nekad mencontek hasil karya orang…

Setelah disiksa paginya dengan English class, kami kemudian menghadapi English Content class di sore hari. Di kelas ini  kami dipaksa untuk terbiasa aktif di kelas dan berdebat secara intelektual –bukan ngalor ngidul–, maklum nanti di UPEACE Costa Rica kami akan berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa dari puluhan negara lain yang kabarnya sangat “agresip”.

Lagi-lagi content class juga hobi memberi tugas atau assigment. Lagi-lagi membaca suatu hal yang paling penting. Sebelum kelas masuk, kami sudah diberikan bahan bacaan yang ajigile terkadang hingga 70 halaman. Semua harus dibaca kalau tidak kami pasti terbengong-bengong di kelas.

Tidak heran baru beberapa hari saja, ada teman yang masuk kelas dengan mata merah alias kurang tidur. Semua mengeluh karena kecapean. Bisa dimaklumi, kebanyakan scholars adalah profesionals yang sudah lumayan lama tidak pernah berurusan dengan research paper atau buku ilmiah. Konon pula saya yang sudah 13 tahun lulus kuliah.

Kondisi diperburuk dengan internet yang tidak bisa diandalkan di flat. Akibatnya pelajaran sering terganggu karena tidak bisa mengunakan akses internet.

Tidur kurang dari 5 jam menjadi keseharian kami. Kopi jadi sahabat sejati. Depresi selalu membayangi. Hiburan satu-satunya adalah nongkrong bareng saat istirahat dan “curhat” atau berkeluh kesah.

Yang paling seru saat sedang mengerjakan writing assignment hingga tengah malam, international students yang tinggal di kawasan Barangka sering janjian ngopi untuk merenggangkan diri dari kepenatan. Setelah kopi habis, kami kembali ke kamar masing-masing dan kembali belajar.

Atau bila tidak terlalu malam, kami ramai-ramai sering mendatangi seven-eleven yang dibuka 24 jam. Kami akan belanja snacks atau ice cream murah meriah sekedar memanjakan diri. Kami menyebut itu midnight snacks.

Assignment yang bejibun itu kerap membuat saya jarang mengunakan media sosial seperti facebook atau twitter. Jangankan media sosial, untuk skype dengan emilio saja kayaknya susah mendapatkan waktu yang tepat.  Waktu yang tersisa sepertinya lebih bagus digunakan untuk tidur dan istirahat.

Yang pasti, saya merasa lepas dari marabahaya setelah assignment selesai dan terkirim ke email para teachers –tanpa saya harus cari printer seperti students yang lain hehehe–. Saya biasanya balas dendam dengan tidur cepat dan bangun lebih lambat dan santai.

Seperti beberapa hari ini, saya lumayan santai jadi bisa menulis blog ini.. 😉