Pergedel Jagung ala Nanee

Image

Menu ini sederhana tapi rasanya lumayan. Biasanya saya bikin lumayan banyak untuk disimpen di kulkas dan digoreng kapan punya waktu. Emilio paling doyan penganan yang satu ini karena bisa dimakan seperti gorengan biasa. Apalagi kalau musim hujan seperti ini.

Tak usah berpanjang lebar, mari kita mulai memasak

BAHAN

  • Jagung muda dua buah dikerik dengan pisau perlahan-lahan
  • Tepung terigu satu cangkir
  • Telur 1 butir
  • Daun bawang diiris secukupnya
  • Cabai merah 3 buah iris halus (tergantung selera)
  • Bawang putih 3 siung dihaluskan
  • Lada halus setengah sendok
  • Garam
  • Susu cair dua sendok (kalau suka)
  • Daging cincang secukupnya –bisa juga diganti dengan udang
  • Penyedap seperti masako rasa ayam setengah bungkus
  • Air secukupnya
  • Minyak buat menggoreng

CARA MEMBUAT

  • Campur jagung, daun bawang, bawang putih, lada dan irisan cabai
  • Tambahkan tepung, telur dan susu
  • Masukkan air secukupnya. Pastikan adonannya tidak terlalu encer.
  • Masukkan garam, masako ayam  (kalau bisa dirasa untuk memastikan rasanya sudah cocok atau tidak)
  • Masukkan daging cincang. Aduk
  • Panaskan minyak
  • masukkan ke minyak panas adonan pergedel jagung kita itu
  • Bila sudah coklat keemasan silakan diangkat
  • Siap dihidangkan dengan saus cabai atau teman nasi

Sang Penyemangat

WE ARE THE HAPPY COUPLE
WE ARE THE HAPPY COUPLE

Sudah hampir dua minggu saya sakit. Ini bukan sakit biasa, melainkan sakit serius karena saya benar-benar stuck di rumah dan tidak bisa kemana-mana. Dan selama sakit ini, hanya satu orang yang selalu stand-by menjaga saya, meyakini saya kalau saya pasti akan sembuh. Orang ini tak lain dan tak bukan adalah suami saya Emilio, A.Ka Pak Tato.

Kami sudah menikah 5 tahun, tetapi saya bisa merasakan bahwa Emilio bukan laki-laki biasa. Dia selalu mendukung saya, termasuk ambisi-ambisi saya yang kadang-kadang tidak masuk akal. Dia selalu menghibur saya saat saya gagal, minder atau merasa pesimis.

Dia bahkan paling mendukung saat saya berkeinginan sekolah lagi (meskipun sempat meledek, kok setua saya masih punya ambisi sekolah).

Selama ini di tengah kesibukannya, Emilio selalu mengantar dan menjemput saya bolak balik ke airport Soekarno Hatta yang menyebalkan itu. Terutama saat saya harus tugas ke luar kota, kursus pendek atau dinas luar negeri.

Saya tahu terkadang Emilio sebal dengan pekerjaan saya sebagai wartawan, tapi dia tetap mendukung karena pekerjaan tu yang membuat saya bahagia.

Saat saya berhasil menjebol dua beasiswa sekaligus yaitu NZAS dan UPEACE, tidak seperti suami lain yang suka memaksakan kehendak, Emilio justru menyerahkan keputusan pada saya.  Saya yakin bila Emilio seperti suami lain, dia pasti akan ngotot meminta saya mengambil NZAS karena dia bisa ikut menghabiskan waktu bersama saya di negara yang indah itu.

Kenyataannya dia justru tetap bergembira saat saya memutuskan untuk ke UPEACE yang kampusnya jauh di ujung berung sana dimana saya akan menghabiskan waktu 10 bulan dalam kesendirian di Kosta Rica.

“Yang penting, dirimu bisa jadi sesuatu selesai sekolah. Bukannya kembali ke kehidupan sebelum sekolah. Itu sama saja bohong,” katanya.

Emilio percaya,  orang harus berubah saat melanjutkan sekolah karena tanggung jawabnya lebih besar pada masyarakat. Sekolah bukan aji mumpung bisa menikmati kehidupan luar negeri dan fasilitas beasiswa (sebagaimana yang dilakukan banyak orang).  Tetapi ada hal besar di balik itu yaitu perubahan kedepan yang lebih mendasar.

Dalam kondisi sakit seperti sekarang ini, saya merasa optimis untuk bisa sembuh, karena Emilio selalu menyemangati saya. Saya berharap suatu saat saya bisa berganti posisi menyemangatinya, seperti yang selalu dia lakukan pada saya…

Emilio, I love you full… 🙂

Following my own heart by choosing UPEACE…

Setelah berfikir beribu-ribu kali, saya memutuskan untuk menerima beasiswa Asia Leader Programme (ALP) dari University for Peace  (UPEACE) yang disponsori oleh Nippon Foundation Jepang. Jujur saja semula saya sempat gamang karena saya juga diterima untuk mengambil master di Univ Otago New Zealand dibawah pembiayaan NZAS scholarships.

upeace

Untuk Upeace saya rencananya akan belajar soal Media, Peace and Conflict Studies (adik saya bilang, saya tidak kreatif sehingga memilih jurusan ini. Dia meramalkan sampai mati pun saya akan tetap berurusan dengan media).

Menurut jadwal, saya akan menghabiskan 8 bulan di Manila Philipina dan 10 bulan di Costa Rica. UPEACE di Costa Rica merupakan main campus, sementara di Manila saya –katanya- akan belajar lebih dalam soal bahasa dan implementasi ilmu yang saya peroleh ke depannya.

Belajar akan dimulai bulan May akhir 2013 di Phipina dan saya akan mengikuti training bahasa inggris untuk kelas advance selama 3 bulan sebelum berangkat ke Costa Rica.

Orang pasti berpikir saya memilih UPEACE karena bisa belajar di dua negara. Tapi sebenarnya bukan itu alasan saya.  Jujur saja, bolak balik naik pesawat dengan zona waktu berbeda bisa membuat saya gila 🙂  Kalau bisa memilih saya lebih suka belajar di satu tempat saja dengan fasilitas belajar yang lebih memadai.

Sementara, editor saya, Ati Nurbaiti malah berpikir kalau saya memilih UPEACE karena saya ingin menikmati alam Costa Rica yang terkenal dengan laut dan hutannya termasuk juga dengan prianya yang ganteng-ganteng.. alamakkkk.. 😀

Yang jelas alasan saya cukup sederhana. Bisa belajar banyak tentang konflik dan perdamaian memang menjadi cita-cita saya sejak saya belum menjadi wartawan di Aceh. Sudah tak terhitung lagi jumlah air mata saya  yang tumpah melihat tanah asal saya itu luluh lantak oleh konflik.

Sejak SMP saya sudah merasakan hidup di kawasan yang tidak aman, dengan suara tembakan,  jenazah yang bertebaran yang semuanya menyebabkan ketakutan dan terror diantara masyarakatnya.

Keinginan itu makin membara saat saya menjadi wartawan dan bersentuhan langsung dengan pelaku konflik : GAM dan TNI dan juga korban konflik. That was an awful experience…

saat Milad GAM Aceh Besar 2002
Free Aceh Movement group in Great Aceh’s hideout
military withdrawal in Krueng Geukuh, North Aceh
military withdrawal in Krueng Geukuh, North Aceh

Tak heran, saat pihak UPEACE Costa Rica mewawancarai saya via Skype, saya merasa seperti ikan yang berenang di kolam. It feels like home dan saya mulai berpikir, kampus inilah yang paling cocok untuk saya. (Perasaan yang sama ketika saya memutuskan untuk mengabdi pada The Jakarta Post dan meninggalkan Serambi Indonesia Aceh)

Saya memilih UPEACE sepertinya lebih mengikuti kata hati.  Dan entah kenapa saya merasa happy dengan pilihan saya ini..

Peace Keeping center in Sentul, West Java, after opening ceremony. The center will be the biggest peace keeping center in ASEAN

Boh Reuteuk Taguen Aceh (Kacang panjang masak Aceh)

 

Menu jadul tapi tetap okeh
Menu jadul tapi tetap okeh

Ini resep Aceh yang jadulllll banget tetapi masih up to date untuk saat sekarang. Suka dihidangkan sebagai salah satu menu hidangan preh linto/dara baro (menu jamuan untuk pengantin) atau pada saat maulud Nabi Muhammad SAW. Rasanya ngaceh sekali karena ada mengandung u teuleu dan asam sunti.

Dulu secara tidak sengaja saya masak ini karena kebetulan di tukang sayur cuma tertinggal kacang panjang. Iseng saya mempraktekkan menu jadul ini –tentu saja dengan menelpon mamak di kampung Tijue Sigli sana–. Siapa sangka Emilio suami saya malah doyan. Katanya menu ini dimakan dengan nasi panas dan emping melinjo saja sudah oke.

Nah berikut cara membuatnya :

BAHAN

  • Dua ikat kacang panjang, potong 5 cm
  • Tiga buah cabai merah potong miring panjang-panjang
  • Setengah butir tomat potong
  • Santan kental setengah gelas kecil
  • Gula
  • Garam
  • Mecin
  • Udang kecil tergantung selera
  • Daun Pandan
  • Minyak untuk menumis 2 sendok makan

Bumbu yang dihaluskan

  • Tiga siung bawang merah
  • Satu suing bawang putih
  • Satu iris jahe ukuran sedang
  • U teuleu (kelapa parut digongseng dan dihaluskan) satu sendok makan
  • Lada putih setengah sendok teh (tergantung selera)
  • Ketumbar satu sendok teh
  • Asam sunti 3 buah

CARA MEMBUAT

  • Haluskan semua bumbu, campur dengan kacang panjang yang sudah dipotong
  • Tumis udang kecil, cabai dan daun pandan sampai harum
  • Masukkan kacang panjang yang sudah bercampur bumbu
  • Bila sudah setengah masak, masukkan santan, tomat, gula, garam, mecin –secukupnya. Dirasa-rasa biar lebih afdol—
  • Angkat saat kuah mengental dan kacang panjang masak (soal masaknya kacang panjang ini sesuai selera. Kalau Emilio lebih suka kacang panjang yang yang setengah masak. Beda dengan saya yang suka benar-benar masak 🙂 )
  • Siap dihidangkan

Kuah Phet (Sayur Pahit)

kuah phet

 

Ini sayur favorit keluarga simpang camat Tijue Sigli, Pidie. Kuah phet enak disantap untuk makan siang ditemani ikan asin, sambel terasi, dan bandeng goreng. Pahit-pahit segar karena mengunakan bunga pepaya dan daun jeruk. Buatnya mudah, dan rasanya cukup menyenangkan.

BAHAN

  • Daun melinjo secukupnya
  • Daun singkong secukupnya
  • kacang panjang secukupnya
  • Jagung muda satu buah, potong-potong
  • Bunga pepaya –tergantung selera kepahitan yang dimau
  • Pepaya muda
  • Tomat satu buah, potong-potong
  • Bawang merah dua buah, iris
  • Cabai hijau potong panjang tiga buah
  • Belimbing sayur dua buah
  • Garam dan mecin bila suka
  • Daun jeruk tiga lembar biar wangi

CARA MENGEKSEKUSI

  1. Iris daun melinjo, daun singkong seperti membuat sayur asem
  2. Rebus satu setengah liter air
  3. Setelah mendidih masukkan jagung, pepaya, belimbing sayur. Belimbing sayur yang sudah masak dilumatkan dan campurkan lagi ke air.
  4. Masukkan daun melinjo, daun singkong, kacang panjang, daun jeruk, bunga pepaya, tomat, cabai dan bawang
  5. Masukkan garam dan mecin sedikit
  6. Tunggu hingga sayur matang. Angkat.