Jelang peringatan 5 Oktober, saya ingin menulis tentang hal-hal yang berbau militer Indonesia di blog ini. Isu soal Indonesia military emang banyak, mulai dari weapon procurement sampai dengan military warfare. Maklum dana APBN untuk Kementerian Pertahanan termasuk paling tinggi yaitu Rp 64.4 trilliun untuk tahun 2012 (boleh bilang wow sambil koprol gitu J).
Tulisan ini merupakan kenangan saya saat berkunjung ke perumahan pensiunan militer di kawasan Kutruk, kecamatan Tiga Raksa, Tangerang Selatan. Itu adalah pengalaman pertama dan yang pasti saya trauma kalau harus disuruh kesana lagi.
Saya pergi ke sana barengan dengan suami tersayang Emilio, ipar saya Heru yang biasa dipanggil Isu, dan Partanus teman Emilio dan Isu. Kami mengendarai dua motor yang tangkinya diisi penuh, tidak lupa helm dan jaket.
Kami akan mengunjungi rumah ibunda sahabat Heru yang bernama Budi. Kebetulan ayah Budi dan Emilio berasal dari satu batalyon waktu jadi prajurit TNI. Sekarang ayah Budi dan Emilio sudah meninggal, tapi keduanya masih punya Ibu. Bedanya Ibu Emilio (yaitu mertua saya) masih tinggal dengan anak-anaknya di Yogya, nah ibunya Budi yaitu Tante Cornen justru terasing di Kutruk sana.
Rencana ke Kutruk sebenarnya sudah hampir setahun yang lalu. Cuma belum ada yang punya nyali kesana. Selain karena sibuk, semua terintimidasi dengan statement Budi yang bilang kawasan Kutruk itu jauhhhhh banget.
Baeklah, akhirnya kami kesana. Selain akan mengunjungi Tante Cornen, Ketiga teman seperjalanan saya itu berharap bisa bereuni dengan semua anak-anak tante cornen, mengenang saat masa kecil dan tinggal di asrama yang sama…
Butuh waktu 3 jam untuk mencapai perumahan ASABRI kutruk dari Jakarta Selatan. Jalan yang dilalui berdebu, rusak, macet, panas dan unpredictable. Saya dan Emilio benar-benar kecapean. Sementara Partanus dan Isu kayaknya sangat menikmati perjalanan. Edan.
Perjalanan juga diwarnai “tersesat”, terkadang kami harus menelpon Budi –yang sudah berada di TKP—untuk tanya jalan. Sialnya keterangan Budi lebih sering membuat kami kesasar . Contohnya Budi tidak bisa membedakan mana Alfamart dan Indomaret.
Eniway, kami akhirnya sampai ke Kutruk. Dirumah kecil yang Cuma berkamar satu dan sedang kesulitan air itu, Tante Cornen menyambut kami dengan terharu. Bertanya soal kesehatan ibu Emilio yang sudah belasan tahun tak bertemu setelah suami masing-masing pensiun dari tugas.
Saya jujur saja syok melihat perumahan tempat Tante Cornen ini menghabiskan sisa hidupnya. Rumahnya kecil sekali dan lingkungannya benar-benar sulit dijangkau. Tidak ada kendaraan umum.
Kami disuguhi coca cola dingin dan kue kering lebaran. Saat siang tiba kami disuguhi nasi, sambal, sayur asem dan ayam goreng. Emilio dan kroco-kroconya makan dengan lahap. Saya rasa mereka kecapean berat setelah berjam-jam di atas motor.
Setelah makan, semua nongkrong di bale-bale bamboo di persimpangan jalan yang menjadi kawasan pos ronda. Merokok sambil cerita tentang masa kecil.
Matahari memang luar biasa menyengat. Begitu juga saat akhirnya kami pamit untuk pulang. Memang kami tidak bisa memilih karena pulang malam pasti akan nyasar 😀
Yang pasti, setibanya di rumah saya sakit kepala berat. Mungkin kepanasan.
Saya membutuhkan waktu kurang dari dua jam untuk menulis tulisan soal Tante Cornen untuk The Jakarta Post. Setelah tulisan selesai saya kemudian dikejar-kejar editor yang minta foto kawasan tersebut. Masya Allah saya memang lupa memotret.
Saya tidak berani berpikir harus kembali lagi ke tempat itu hanya untuk memotret…:D