36 JAM DI JAKARTA (Part I)

(Pengalaman menjadi guide sahabat Jepang saya mengunjungi Jakarta selama 36 jam)

Entah karena berbakat untuk berpromosi atau memang sedang kangen kampung halaman, saya selalu membanggakan Jakarta di depan teman-teman saya, penerima Asia Peacebuilder scholarship (APS) Batch 7 tahun 2013-2014.

Setiap menikmati makanan atau nongkrong bersama mereka, saya selalu membanding-bandingkan Philippines dan Costa Rica dengan Indonesia.

“Di Indonesia makanannya lebih enak”,  atau “ Ini mah di Jakarta juga ada,” atau “Kereta commuter di Jakarta lebih sering penuhnya daripada kosong,”  atau “Rendangnya kurang pedas, enakan di Jakarta,”

Makin sering saya menyebut kata “Jakarta”, semakin home sick saya.  Ya Tuhan, saya kangen sate ayam, bakso, gado-gado, pecel lele. Saya kangen naik KRL commuter, berebutan naik busway, atau naik ojek dan bajay. Damn…

Siapa sangka yang akhirnya penasaran dengan Jakarta adalah sobat Jepang saya, Miki Yoshida. Maklum kami selalu bersama dan dia jadi guru origami saya yang sangat sabar. Dan ketika saya memutuskan untuk kembali ke Jakarta selama 36 jam dalam rangka menjemput suami saya Emilio,  Miki berminat ikut. Nahloh.

Semula saya pikir dia bercanda. Eh tidak tahunya dia serius. Pada suatu malam, di bulan September 2014, pukul 22.00 waktu Manila, Miki mengirimkan CC email dari Cebu Airlines, mengonfirmasi kalau DIA AKAN IKUT KE JAKARTA.

Mulailah saya panik. Masalahnya Jakarta itu kan macet luar biasa. Bisa-bisa Miki tidak bisa kemana-mana. Trus apa yang akan dilakukannya selama 36 jam di Jakarta? Sementara saya sendiri biasanya malas kemana-mana, kecuali ke tukang soto betawi Pak Kumis yang tak jauh dari rumah.

Miki sendiri (seperti biasa) sudah sibuk searching di google dan Lonely Planet. Dia langsung bilang terus terang kalau salah satu tujuan dia adalah Monas. Alasannya: Monas itu lambang Jakarta dan dia mendengar ada Doraemon di Monas. Permintaannya membuat saya melongo.  Monas? Doraemon? Ngapain Doraemon di Monas?

Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Pheny, sahabat saya wartawan Koran ekonomi Kontan.  Pheny jadi andalan saya untuk memboncengi Miki secara kawasan di Jakarta lebih gampang dijangkau dengan mengunakan motor.

Pheny memang luar biasa. Dia setuju  mau memboncengi Miki. Meskipun sempat kecewa karena berharap sobat Jepang saya seorang laki-laki yang tampangnya keren mirip aktor Korea hehehehe…

Siapa sangka 36 jam ternyata cukup lumayan untuk eksplor Jakarta. Tidak percaya? Di tulisan ini akan saya beberkan (duileee) kemana-mana saja Miki jalan-jalan dan pengalaman apa saja yang dia alami.. hehehe…

CHECK THIS OUT

miki1

KI-KA (Pheny, Miki, Nanee dan Emilio)

  1. Soekarno Hatta airport

Begitu sampai di Soeta Airport, Miki sempat komplen karena harus bayar biaya visa on arrival. Dia keberatan mengeluarkan uang (saya lupa jumlahnya) hanya untuk 36 jam saja di Jakarta.  Trus dia heran kok orang Jepang harus membayar VoA, sementara di Philippines dan Negara Asia lain serba gratis.  Saya langsung meledek dia. “You should pay more, I think. Especially regarding to the history between Japanese and Indonesia.” hehehehe… Dia langsung cengengesan…

Miki mengagumi arsitektur airport yang serba etnik dan bilang airportnya bagus. Belakangan dia gantian meledek saya, karena ketika kami akan kembali ke Manila, kami harus duduk di lantai menunggu pesawat, secara kursi untuk menunggu tidak cukup.

‘The airport operator should buy new chairs and never let me sit on the floor. I’ve paid VoA already,” katanya nyebelin.

Saya gantian cengengesan.

Bukan itu saja, ketika kami tiba di Manila, dia langsung cerita pada semua teman-teman APS untuk membawa kursi lipat kalo mau ke Jakarta. “The airport doesn’t have enough chair,” katanya.

Waduh… saya langsung malu sama promosinya yang sesat itu.

  1. Money Changer

Saya membawa Miki untuk menukar uang di money changer terdekat yaitu di Depok Square alias Detos. Dia menukar 200 dolar dan mendapatkan uang sebanyak Rp 2,400.000.

‘Wow, I became a millionaire in your country,” katanya sambil menghitung lembaran 100 ribuan rupiah. terkagum-kagum.

Saya tersenyum kecut. Mata uang Rupiah memang sedang rendah-rendahnya, dan celakanya orang-orang seperti Miki merasa kaya di Indonesia, sementara orang-orang Indonesia masih kesulitan mencari uang untuk membeli sekilo beras yang harganya Rp 10,000…

Bisa diduga, Miki hanya membelanjakan kurang dari 100 dolar di Indonesia selama 36 jam mengunjungi Indonesia.  Dia bahkan tidak berminat menghitung berapa rupiah lagi uang yang tersisa.

‘Too many zeros, so confusing,” katanya sambil mengambil semua uang rupiah dan memasukkannya ke dompet.

  1. Taman Mini Indonesia Indah

Ketika Miki memutuskan mengunjungi Indonesia, yang pertama terlintas di kepala saya adalah membawanya ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Untung Pheny bersedia mengantar karena dia belum pernah kesana. Sementara saya pernah mengunjungi TMII saat saya masih TK alias puluhan tahun yang lalu.

“Dengan mengunjungi Taman Mini, kamu berarti sudah keliling Indonesia. Biaya masuknya murah. Coba kamu bayangkan berapa kamu harus mengeluarkan uang kalau mau keliling Indonesia,” kata saya berpromosi.

Kami memakai jaket, penutup mulut dan helm saat akan naik motor ke Taman Mini. Miki sepertinya hepi naik motor mengarungi kemacetan Jakarta. Saya rasa dia mendapatkan pengalaman menarik, secara Pheny kalau menbawa motor suka ngebut hehehe…

Di Taman Mini, kami mengunjungi rumah adat seluruh sumatera dan jawa dan bali. Selanjutnya hanya melintas di rumah-rumah adat provinsi Kalimantan dan Sulawesi. Ternyata yang berlibur bukan hanya Miki. Saya, Pheny dan Emilio juga hepi karena kalau bukan karena Miki kami tidak akan pernah punya pikiran menginjakkan kaki ke Taman Mini hehehe…

Terkena Razia Polantas

Pulang dari Taman Mini, motor yang dikendarai Pheny dan Miki terkena razia polantas.  Pheny langsung mengeluarkan SIM dan STNK-nya sementara Miki malah sibuk mengambil gambar. Segera saja, polisi yang merazia langsung marah-marah ke Miki yang tidak mengerti bahasa Indonesia.

Untungnya Miki bersama Pheny yang sejak dulu bertemperamental dan beraninya minta ampun. Entah gimana ceritanya keduanya lepas dari razia.  Miki dengan antusias bercerita kalau mereka diomelin polisi gara-gara dia memotret.

“Padahal saya Cuma memotret rumah di sekitar situ loh, bukan polisinya,” kata Miki sambil cengengesan.

(BERSAMBUNG)

Leave a comment