Bye office…

Meskipun saya sering dilanda kejenuhan luar biasa, tapi entah kenapa hari ini saya merasa agak keberatan meninggalkan kantor. Ya, hari ini hari terakhir saya masuk kantor dan saya cukup sedih.

Selama ini saya duduk di kawasan cubicle paling pojok. Pojokan yang aman karena saya bisa bersembunyi dan tidak terlihat rekan-rekan. Tetapi gara-gara lokasi yang terpencil itu, saya sering gagal mendapatkan makanan gratisan karena lokasinya jauhhhh dari tempat duduk saya ini 🙂

Teman-teman yang menyenangkan karena mereka teman seprofesi, senasib, dan sepenanggungan. Saya sering mampir ke meja mereka sekedar say hai. Di saat senggang saya bisa ikutan ngobrol ngalor ngidul di balkon bersama rekan-rekan sambil minum teh botol dan makan gorengan.

Sejak resmi berkantor di Palmerah di tahun 2008, saya sudah enam kali berganti lokasi tempat duduk. Tetapi buat saya sama saja. Beberapa rekan ada yang pergi, beberapa dari mereka malah tak kembali. Ada yang pindah kerja. Ada yang sekolah karena mendapat beasiswa, atau ada yang memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga.

Jujur saat pertama kali masuk ke kantor ini saya merasa berada dalam neraka. Tekanan dan tuntutan pekerjaan begitu berat yang membuat saya stres dan sering menangis. Saya berpikir apa saya harus bertahan atau mundur saja? Buat apa saya habiskan waktu saya di tempat yang berat seperti ini.

Menulis dalam bahasa inggris itu jadi momok buat saya di tahun-tahun awal di Palmerah (bahkan hingga sekarang karena saya selalu merasa tulisan saya masih sulit untuk sempurna). Saya disiksa dengan kunjungan rutin ke mentor dan selalu down karena semua tulisan yang saya hasilkan salah semua.

Pernah suatu saat tulisan saya menjadi contoh tulisan terburuk yang tidak boleh ditiru :(. Harga diri saya jatuh ke tempat serendah-rendahnya. Untung mental saya cukup kuat untuk terus belajar. Saya sering tertidur dengan buku grammar saat belajar. Otak saya terlalu tua untuk menyerap semudah jurnalis muda. Jadi kalau mereka belajar 10 kali, saya harus sanggup belajar 20 kali.

Belajar ekonomi dan bisnis jadi momok yang lain. Belum pernah saya bermimpi harus menulis berita ekonomi. Pakai bahasa inggris pula. Membayangkan saja saya sudah merinding.

Saya ingat saat dihampiri Rendi, editor di business desk, saat saya masih di desk national. Dengan santainya dia bilang “Nan, minggu depan elu pindah ke desk gue yaaa…”

Saya sempat sulit tidur gara-gara itu. Saya menghabiskan waktu membaca berita business dan buntutnya saya malah tambah stress. Banyakkkkkk sekali yang harus saya pelajari.

Berita-berita business adalah berita paling datar dan membosankan menurut saya. Celakanya saya berada di desk business ini paling lama. Hampir dua tahun, dan meliput khusus di perusahaan-perusahaan BUMN. Saya sempat merasakan pergantian menteri tiga kali; Sofyan Djalil, Mustafa Abubakar dan Dahlan Iskan.

Lama-lama saya jatuh cinta juga dengan desk business. Editor favorite saya adalah Mas Dadan yang wajahnya ala Enrique Iglesias itu. Orangnya baik dan selalu santai. Dia selalu bilang “reporting business is easy. Just follow the number…”

Dari semua desk yang pernah saya lakoni, desk special report dan feature adalah desk favorite saya. Di desk special report Saya bisa menulis panjang dengan lebih dalam terhadap masalah tertentu. Nanti munculnya satu halaman penuh. Ini jurnalisme sebenarnya karena bukan Cuma melaporkan, kata Rendi yang menjadi editor saya.

Sementara di desk feature saya bisa melatih menulis dengan hal-hal ringan. Saya juga belajar menulis soal gosip selebritis yang belum pernah saya lakukan selama 13 tahun jadi wartawan.

Saya cinta dua desk itu. Sangat cinta malah.

Bukan masalah tekanan pekerjaan saja, terkadang hubungan saya dengan editor juga sering tidak cocok. Masalah bisa muncul karena news judgement kemudian merembet ke masalah pribadi. Yah, begitulah…

Ternyata semua tekanan dan masalah kini berbuah manis. Saya bisa menikmati buahnya sekarang. Saya diterima beberapa beasiswa. Pilihan saya berlabuh di University for Peace. Belajar soal konflik memang cita-cita saya.

Terlepas dari betapa menderitanya saat-saat pertama saya bekerja di kantor ini, saya merasa kerja keras saya terbayar sudah…

Tiba-tiba saya merasa sedih harus meninggalkan kantor. Saya sadar, kalau saya tidak mengalami banyak pengalaman berharga disini, mungkin saya tidak akan pernah terpecut untuk berusaha dan kemudian berhasil …

Ulang tahun JP, Raymond Toruan dan turning point saya

 jakarta post

Hari ini tanggal 25 April 2013, koran saya tercinta The Jakarta Post (JP) ulang tahun yang ke 30. Usia yang cukup dewasa. JP sudah bertahan dan melewati banyak masalah yaitu sejak masa  orde baru, reformasi dan orde gonjang ganjing ( kenapa orde gonjang ganjing? Karena sejak sembilan tahun belakangan ini kasus korupsi makin parah dan orang-orang merasa kurang lengkap kalau tidak korupsi J)

Selama berkantor di Jalan Palmerah Barat 15 sejak 2008, saya tidak pernah namanya hadir di acara ultah kantor. Saya lebih sering menghabiskan waktu liputan diluar kantor dan bahkan langsung pulang setelah liputan. Saya cuma tahu ulang tahun JP justru dari teman-teman yang pulang kantor atau pun foto-foto yang mereka upload di facebook atau twitter. Ada kue besar, nasi kuning, wine dan sampanye…

Untuk pertama kali, di ultah JP yang ke 30 ini, saya memutuskan untuk ke kantor dan menikmati suasananya. Saya berharap bisa bertemu banyak rekan dan ngobrol –tentu saja sambil bikin berita—di hari paling penting untuk JP ini.  Ini saya lakukan karena seminggu lagi saya akan cuti besar dan mungkin tidak akan pernah ke kantor ini hingga 20 bulan ke depan 😦

Sudah saya duga, kantor berlimpahan makanan dan bunga. Tart coklat, cupcakes, dan nasi kuning mengalir tidak putus-putusnya sampai kami kekenyangan, berharap ada rekan wartawan lain yang datang untuk bisa menyantap makanan yang melimpah.

Bukan itu saja, suasana makin meriah saat ada tiup lilin di ruang rapat sore disaksikan pemred kami yang charming Meidyatama Soeryodiningrat. Lilin itu dinyalakan di atas kue coklat ukuran satu meteran.

Kami menyanyikan lagu happy birthday dan diakhiri dengan potong kue. Sempat sebelumnya managing editor Rendi Witular keheranan begitu melihat jumlah kami yang hadir begitu sedikit.

“Cuma segini?” tanyanya.

Ya iyalah, sebahagian jurnalis JP masih di lapangan. Masih bekerja untuk mendapatkan berita supaya besok koran tetap terbit. Sementara  Karyawan redaksi juga terbelah karena ada yang sudah di TIM Cikini untuk pelaksanaan Ultah JP secara resmi.

The team
The team

Saat acara tiup lilin, saya mendadak merenung kenapa saya bisa akhirnya memutuskan bekerja full-time untuk JP.  Ingatan saya masih sangat segar, itu adalah tahun 2002.

Saat itu saya bekerja di sebuah koran lokal Aceh. Gaji saya teramat kecil disana sehingga saya sering “curi-curi” waktu berkontribusi ke JP. Koran saya itu memang tidak mengizinkan wartawannya kerja dengan media lain.  Saya memilih berkontribusi ke JP karena buat saya lebih mulia ketimbang menerima sogokan nara sumber…

Suatu waktu saya membutuhkan tanda tangan pemred koran lokal saya untuk memberikan izin cuti. Saya pun ke ruang pemred untuk pertama kalinya. Yang saya rasakan saat masuk ke ruang itu, kondisinya kosong melompong. Rak-rak buku terlihat kosong. Dinding tak berseri. Pemred saya duduk di depan komputer di meja yang bersih tanpa kertas-kertas atau buku. Saya pikir beliau kerja, eh nggak tahunya sedang main soliter –permainan komputer yang cukup ngetop saat itu—

Pikiran saya saat itu  lho, pemred kok malah main soliter?

Cuti itu saya pergunakan untuk mengikuti workshop AJI, yaitu pelatihan di wilayah konflik.

Ternyata pak Raymond Toruan, Pemred JP waktu itu, tahu kalau saya ada di Jakarta dan beliau mengundang saya untuk mampir ke kantor JP yang lama di Palmerah.

Ini kali pertama saya bertemu dengan Pak Raymond. Saya diantar resepsionins ke ruangannya, yang ternyata lebih kecil dari ruangan pemred saya di Aceh sana. Saya langsung melihat sosok pak Raymond duduk di meja sedang membaca ditemani lampu baca.

Ruang kerja Pak Raymond berantakan. Rak bukunya penuh, malah buku yang tidak tertampung ditumpuk di lantai. Di dinding banyak lukisan yang saya tidak tahu jenis alirannya apa. Beberapa lukisan yang masih terbungkus kertas coklat masih tergeletak di lantai. Saya pikir pak Raymond mungkin tidak tahu mau mengantung dimana lagi lukisannya itu.

Pak Raymond melihat saya sekilas dan berkata “ Duduk dulu Nani, saya selesaikan bab ini dulu baru kita ngobrol,” katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku tebal yang sedang dia baca.

Saya terkesan sekali saat itu. Dan lebih terkesan lagi saat kami ngobrol ditemani dua kotak nasi padang. Pak Raymond cerita soal Aceh dan kecintaannya pada dunia jurnalistik. Saya lebih banyak mangut-mangut.

Dia sempat menunjukkan beberapa mesin tik jadul miliknya dan koleksi kain-kain tenunan tua yang banyak sejarahnya. Saya melihat mata pak Raymond begitu berbinar-binar menceritakan asal usul koleksinya.

Buntutnya dia menasehati saya untuk menjadi wartawan yang baik. Yang selalu menjaga keselamatan karena berita bagus itu bukan didapat dari wartawan yang mati.

Saya merasakan perbedaan aura pak Raymond ini sangat kontras dengan aura pemred saya di Aceh. Pak Raymond tidak pernah memandang remeh meskipun saya cuma koresponden. Beda dengan Pemred saya yang selalu menganggap wartawan muda seperti saya ini bukan apa-apa.

Saat saya berjabat tangan dengan Pak Raymond sebelum berpisah, saya sudah memutuskan untuk memilih bekerja untuk The Jakarta Post dan keluar dari kantor lama saya. Saya yakin ini kantor yang tepat buat saya untuk membuat saya lebih berkembang.

Saya  merasa Pak Raymond adalah orang pintar dan bos pintar pasti akan membuat anak buahnya seperti saya lebih pintar…

Itulah turning point saya kenapa saya akhirnya memilih bekerja di JP. Sebagai koresponden selama 6 tahun dan wartawan tetap selama 5 tahun.

Dan saat lilin ditiup dan tepuk tangan bergemuruh di ruang rapat sore hari itu tanggal  25 April 2013, saya kembali berpikir. Apakah saya akan tetap di JP atau mungkin ada kejadian lain yang mengubah kehidupan saya ke depan? Allahualam…

Bubur Kanji Aceh ala Mamak

bubur kanji

Wah lama juga saya tidak memposting. Nah ini resep tradisional kita berikutnya. BUBUR KANJI

Bubur kanji is a must kalau bulan puasa di rumah kami. Hari pertama puasa pasti ada hidangan ini. Malah ada saudara sepupu yang selama sebulan penuh puasa  ramadhan hidangan pembukanya selalu bubur kanji. Setelah mengonsumsi bubur kanji bisa langsung shalat magrib dan baru deh makan makanan berat seperti nasi

Kalau bulan ramadhan, orang banyak menyumbang bahan untuk membuat bubur kanji di surau atau Meunasah. Setelah ashar anak-anak kampung datang membawa rantang mengantri bubur kanji gratis dari meunasah untuk buka puasa. Kadang panitia meunasah memasak kanji ayam, kanji udang atau kanji daging. Yang masak biasanya laki-laki di dalam panci yang besaaaaarrrrr sekali.

Bubur kanji ini juga aduhai kalau lagi sakit. Dibanding bubur biasa yang tidak berasa, kanji adalah favorit saya kalau lagi sakit dan malas makan. Baunya gurih dan harum menambah gairah makan. Trus rasa rempah yang aduhai bikin perut hangat.

Setiap kabupaten di Aceh punya beragam bubur kanji. Nah berikut bubur kanji ala Mamak saya di Sigli. Dijamin ketagihan J

Bahan Dihaluskan:

  • ½ sendok teh lada
  • ¼ sendok teh pala
  • ¼ sendok teh adas manis
  • Kurang dari ¼ sendok teh jinten
  • ¼ sendok teh ketumbar

Bumbu utuh yang dimasukkan ke bubur

  • 3 cm kayu manis ukuran sedang
  • 4 buah cengkeh utuh yang kering
  • 2 buah kapulaga
  • 3 siung bawang merah diiris
  • 2 siung bawang putih diiris
  • 1 buah pekak
  • 1 batang daun seledri dirajang halus
  • 1 buah kentang dipotong ukuran dadu 1X1 cm
  • Seiris jahe
  • Selembar daun pandan
  • Garam secukupnya
  • Mecin secukupnya

Bahan utama

 

  • Tiga genggam beras dimasak hingga jadi bubur
  • 200 ml Santan dengan keenceran sedang dari 1/4  butir kelapa
  • 150 gr udang segar dikupas kulit dan dibelah dua (udang bisa diganti daging ayam atau daging sapi. Tergantung selera)

Cara membuatnya

 

  • Beras yang sudah jadi bubur itu ditambahkan santan, udang, bawang merah, bawang putih, kentang, jahe dan daun pandan.
  • Setelah kentang setengah matang, masukkan bumbu halus dan bumbu utuh kecuali seledri. Aduk
  • Tunggu hingga bau santan hilang dan bubur mulai harum dan masukkan seledri
  • Tambahkan garam dan mecin secukupnya –jangan lupa dirasa yaaa
  • Siap dihidangkan